(ilmu tentang pokok/dasar
i’tikad-akidah agama)
I. Prolog
Ibarat sebuah pohon, i’tikad (keyakinan) yang
mendalam merupakan akar pondasi yang menjadi dasar, sedangkan akidah merupakan
satu batang penopang yang tegak tidak boleh menyimpang. Salah dalam
I’tikad-akidah menyebabkan seseorang tersesat dan keluar dari Islam menjadi
kafir. Sedangkan Fiqih merupakan dahan, ranting dan cabangnya. Dalam masalah
Fiqih-amaliah yang ijtihadi sering terjadi perbedaan pendapat (khilafiah) diantara
para imam mujtahid dan para ulama. Salah dalam ijtihad fiqih amaliah, tidak
menyebabkan seorang muslim menjadi kafir, melainkan yang benar dapat dua pahala
yang salah dapat satu pahala.
Hadits Nabi yang menginformasikan akan adanya
firqoh-firqoh Islam yang sesat dalam masalah Akidah (bukan masalah
fiqih-amaliah Khilafiah) :
“Umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, diantara
golongan-golongan itu yang selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya
adalah binasa. Para sahabat bertanya : ‘Siapakah golongan yang selamat itu ?’
Nabi menjawab : ‘golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah’, para sahabat bertanya
lagi, ‘Apakah golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu ?’ Nabi menjawab : ‘Yaitu
yang mengikuti apa-apa yang sekarang ini dipraktekkan (manhaj) saya dan para
sahabatku’ “
“Maka bahwasanya siapa yang hidup (lama) diantara kamu niscaya akan
melihat perselisihan (faham) yang banyak. Ketika itu pegang teguhlah Sunnahku
dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi hidayah.” (HR. Abu Dawud).
“Ada dua firqah dari umatku yang pada hakikatnya mereka tidak ada
sangkut pautnya dengan Islam, yaitu kaum Murji’ah dan kaum Qadariyah.” (HR
Tumrmudzi).
“Bagi tiap-tiap umat ada Majusinya. Dan Majusi umatku ini ialah mereka
yang mengatakan bahwa tidak ada takdir. Barangsiapa diantara mereka itu mati,
maka janganlah kalian menshalati jenazahnya. Dan barangsiapa diantara mereka
itu sakit, maka janganlah kalian menjenguknya. Mereka adalah golongan Dajjal
dan memang ada hak bagi Allah untuk mengkaitkan mereka itu dengan Dajjal itu.”
(HR Abu Dawud).
“Akan keluar suatu kaum di akhir jaman, orang-orang muda berfaham jelek.
Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyah” (ayat-ayat Allah). Iman
mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama bagai
meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa dengan
kamu, lawanlah mereka.”(HR Bukhari).
Yang dimaksud oleh Hadits ini adalah
firqoh Khawarij.
II. Pengertian Ilmu
Ushuludin
Ilmu Ushuludin adalah ilmu yang membahas
pokok-pokok (dasar) agama, yaitu akidah, tauhid dan I’tikad (keyakinan) tentang
rukun Iman yang enam : 1) beriman kepada Allah, 2) Al-Qur’an dan kitab-kitab
suci samawi, 3) Nabi Muhammad dan para Rasul, 4) para Malaikat, 5) perkara
ghaib (alam kubur, alam akhirat, mashar, mizan, sirot, surga-neraka), 6 )
Takdir baik dan buruk.
Sebutan lain bagi Ilmu Ushuludin adalah ilmu
Theologi (ketuhanan), karena membahas tentang ke tauhid-an (ke-Esa an) Allah,
sifat dan asma’ (nama) Allah. Sebutan lain yang lebih populer adalah Ilmu
Kalam, karena bahasan yang sedang ramai dibahas pada saat lahirnya ilmu kalam
adalah masalah kalam (firman Allah) disamping itu pembahasan ilmu ini
menggunakan metode ilmu mantiq (logika) sedangkan kata mantiq secara etimologi
bahasa sinonim dengan kalam.
III. Bahasan Ilmu Kalam
Pokok-pokok bahasan dalam Ilmu Kalam
adalah :
1. Masalah ketuhanan :
a. Wujud Allah
b. Sifat-sifat Allah
c. Perbuatan Allah
2. Al-Qur’an
a. Apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan
3. Akhirat
a. Apakah kebangkitan itu
dengan jasad apa ruh saja.
b. Apakah dapat melihat
Allah di akhirat nanti.
4. Iman
5. Dosa besar
6. Takdir dan keadilan
Allah
7. Khilafah dan imamah
8. Filsafat
9. Ayat-ayat mutasyabih
a. Tentang tajsim
b. Tentang tasybih
c. Tentang dimana Allah
IV. Theologi yang sudah ada sebelum
penaklukan Islam
Pada abad ke-3 SM, Alexander Agung dari Macedonia
(Yunani) mengalahkan Darius (Raja Persia kuno) pada pertempuran di Arbela
(Iraq). Alexander datang dengan tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan
Persia, tetapi sebaliknya ia berusaha untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan
Persia. Ia sendiri mulai berpakaian secara Persia dan orang-orang Persia banyak
yang diangkatnya menjadi pengiring-pengiringnya. Ia kawin dengan Statira, anak
Darius dan pada waktu itu juga 24 dari jenderal-jenderalnya dan 10.000 prajurit
kawin atas anjurannya dengan wanita-wanita Persia di Susa.
Alexander Agung juga menaklukkan Pharao kerajaan
Mesir kuno dan membangun kota pelabuhan Alexandria (Iskandariah) sebagai
ibukota Propinsinya di Mesir. Alexander Agung dengan tentaranya dari bangsa
Persia juga berhasil menaklukkan anak benua India. Kaum penakluk inilah yang
dikenal sebagai ras Arya yang berkasta paling tinggi (brahmana) dalam agama
Hindu di India.
Pada setiap daerah yang ditaklukkan Alexander Agung
tidak serta merta menghancurkan budaya asli bangsa yang ditaklukkan dan
memaksakan budaya dan alam pikiran Yunani kepada penduduk taklukan. Alexander
Agung lebih berusaha mencampur unsur budaya Yunani dengan unsur asli bangsa
yang ditaklukkan. Pencampuran budaya Yunani dengan budaya lokal itu melahirkan
budaya baru yang dikenal sebagai Hellanisme. Inti Hellanisme adalah filsafat
Yunani Kuno (Ajaran Plato, Aristoteles) yang disesuaikan dengan filsafat lokal
(Persia, Mesir, India).
Ketika muncul agama Nasrani, pada abad pertama
Masehi mulanya agama Nasrani belum begitu berkembang dan mendapat banyak
pengikut. Ketika Kaisar Konstantin dari Romawi Timur memeluk Agama Nasrani pada
abad ke-3 Masehi barulah agama Nasrani berkembang dengan pesat ke seluruh
negeri dalam wilayah kekuasaan Imperium Romawi termasuk kota-kota pusat study
hellanisme seperti Iskandariah (Mesir), Antioch (Syria), Jundisapur (Iraq).
Maka filsafat Yunani pun mempengaruhi faham theologi agama Kristen yang
mengkristal menjadi faham Trinitas yang merupakan buah pikiran Paulus, yang
sebenarnya bukan salah seorang Hawari (murid setia pengikut Yesus).
Pada masa khalifah Abu Bakar, Panglima Khalid bin
Walid berhasil menaklukkan Irak. Pada masa Khalifah Umar, Panglima Abu Ubaidah
berhasil menaklukkan Syria, Panglima Saad bin Abi Waqash berhasil menaklukkan
Persia, Panglima Amr bin Ash berhasil menaklukkan Mesir. Pada masa Khalifah
Usman bin Affan, Panglima Utbah bin Nafi’ berhasil menaklukkan Maghribi
(Maroko, Aljazair, Tunisia). Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari
Dinasti Umayyah, Panglima Muhammad Al-Qasim berhasil menaklukkan Afghanistan,
Pakistan dan sebagian anak benua India.
Pada negeri-negeri taklukkan itu penduduknya telah
mempunyai peradaban dan kebudayaan yang cukup maju peninggalan peradaban
Hellanisme Alexander Agung. Mau tidak mau kaum Muslimin terlibat interaksi
langsung dengan peradaban-peradaban tersebut, maka sebagian peradaban dan
pemikiran Yunani, Yahudi, Nasrani, Persia, India tersebut sedikit banyak
mempengaruhi pola pemikiran dan akidah kaum muslimin. Apalagi sebagian besar
penduduk negeri-negeri taklukan tersebut kemudian menjadi pemeluk agama Islam.
A. Filsafat Yunani
Ciri khas filsafat Yunani adalah pemikiran bebas
yang tidak terikat oleh agama. Jiwa filsafat Yunani adalah mengamati,
memikirkan dan merenungkan segala sesuatu berdasarkan rasio (akal).
Neo Platonisme
Plato adalah seorang filsuf Yunani Kuno yang utama,
guru dari Aristoteles. Ajaran dan pemikiran Plato dibahas dan dihidupkan
kembali oleh tokoh-tokoh Neo-Platonisme seperti Plotinus (204-270 M), Malchus (
232-304 M), Proclus (412-485 M) dan lain-lain.
Faham ajaran Plotinus yang terpenting adalah
membahas Trinitas yaitu : The one, spirit dan soul. Menurut Bertrand Russell,
ketiga oknum itu sebagai satu kesatuan. The One (yang Esa) itu kadang disebut
sebagai God (tuhan) kadang disebut sebagai Good (Yang Maha Baik) yang sulit
diberikan definisi, batasan dan predikat padanya, tetapi dinyatakan bahwa “Dia
ada”.
Yang Esa adalah mutlak, spirit datang kemudian dan
soul yang terakhir. Tuhan tidak bisa dikatakan sebagai segala-galanya karena
Tuhan mengatasi segala-galanya. Yang Esa dapat hadir melalui segala sesuatu
tanpa usaha untuk datang. Tuhan tidak berhajat kepada hasil ciptaanNya dan
mengabaikan dunia.
Oknum yang kedua adalah Spirit (akal) yang
merupakan gambaran dari Tuhan, dia diciptakan dari sebab Yang Esa dalam mencari
diriNya, mempunyai penglihatan dan pengliahatan itulah yang disebut spirit.
Dalam hal ini yang melihat dan yang dilihat adalah sama sebagaimana yang
diajarkan oleh Plato. Diumpamakan dengan matahari maka pemberi sinar dan yang
disinari adalah sama. Jadi spirit adalah sebagai sinar yang dipakai oleh Yang
Esa untuk melihat diriNya.
Oknum ketiga adalah soul, menduduki peringkat
terendah. Soul walaupun berada dibawah spirit tetapi ia perencana dari segala
sesuatu yang hidup, melimpahkan matahari, planet-planet dan seluruh alam
semesta. Soul mempunyai dua aspek, yang pertama berupa roh batin yang menujuku
kepada spirit dan yang kedua roh yang menuju hal-hal yang diluar, dalam mana
turun berjenjang sampai kepada alam inderawi sebagai gambaran dari padanya.
Plotinus berkeyakinan bahwa benda-benda
langit adalah wujud-wujud percikan (emanasi) Tuhan. Dalam hal bagaimana soul
dapat ber emanasi menjadi alam semesta tidak lain adalah karena rindu (eros)
kepada spirit.
Soul mempunyai keinginan yang kuat terhadap susunan
yang indah yang pernah ia lihat dalam intelektual spirit (akal intelek).
Menurut Plotinus tubuh adalah tidak kekal, sedangkan roh itulah yang kekal dan
ia bukan merupakan bentuk tetapi esensi yang abadi.
Bagi roh yang didatangi Tuhan menjadikan roh itu
bercahaya, yang dengan cahayanya itu pula dapat sampai menuju kepada Tuhan.
Bagaimana caranya untuk bisa terjadi demikian ? Plotinus menyatakan “supaya
kita putuskan hubungan dengan segala sesuatu kecuali kepada-Nya”. Dengan
berbagai usaha agar dapat roh keluar dari badan terutama melalui “ekstasi”,
akhirnya Plotinus mengalami keberadaan roh diluar tubuh sebagaimana dituturkan
dalam bukunya “Enneads”.
The One disamakan dengan Allah, Spirit disamakan
dengan Yesus yang mengandung segala form (bentuk-bentuk) dan kemudian soul yang
merupakan hubungan antara spirit dan alam semesta. Ketiga unsur itu
masing-masing suci dan disebut “Trinitas”.
Faham Neo-Platonis itu mewarnai seluruh karya
Theologia Aristoteles, karangan yang terdiri kutipan-kutipan yang disandarkan
kepada Aristoteles, tanpa diketahui siapa pengarang yang sebenarnya dan sampai ketangan
kaum Muslimin pada abad ke-9 Masehi.
Gnosticisme
Berasal dari kata yunani Gnosis yang artinya
“pengetahuan rahasia” yang dalam bahasa Arab disebut ghunusiyah yang bermakna
al-ma’rifah al-ilahiyah atau ilmul asrar. Lahirnya gnosticisme tidak dapat dipastikan
waktunya, tapi Philo Judaeus (30-5- M) telah mengembangkannya dengan agama
Yahudi. Dapat dikatakan kelahiran gnosticisme sebagai gerakan filsafat ketika
akhir zaman Yunani kuno dan permulaan zaman Masehi.
Menurut faham gnosticisme, Tuhan berada pada
tingkat tertinggi, wujud terpisah (transedent) dengan alam materi. Adanya wujud
materi bersumber dari Tuhan. Dari Tuhan pertama kali terbit aeon positip dan
aeon negatip. Dari kedua aeon yang berlawanan itu lahirlah aeon-aeon lainnya
hingga sampai kepada 30 aeon-aeon (pleroma) yang selanjutnya menjadi dasar alam
(spirit) dan melahirkan sophia (hikmah). Dari perkembangan yang berjenjang
turun akhirnya sampai kepada alam materi.
Dari aeon-aeon pertama dan seterusnya, ketika
terpisah dengan Tuhan, timbul rindu dan ingin kembali kepada Tuhan. Aeon-aeon
itu dapat kembali kepada Tuhan kalau suci dan bersih dari segala bentuk noda
dan dosa. Dari aeon-aeon positip yang bersih dan suci itu melahirkan alam
spirit dan aeon-aeon negatip yang kotor dan penuh dosa itu tidak dapat kembali
kepada Tuhan dan daripadanya timbul alam materi.
Para pengikut gnosticisme memiliki ajaran atau
doktrin bersifat rahasia. Diantaranya ajaran-ajarannya antara lain :
a. Tuhan adalah
akal (God is intelect).
b. Hubungan
dengan Tuhan cukup dengan akal melalui ma’rifah ilahiyah tanpa perlu dengan
ritual ibadah.
c. Keselamatan
dan kebajikan lebih baik diperoleh dengan ma’rifah ilahiyah daripada melalui
agama itu sendiri.
d. Ma’rifah
ilahiyah itu didapat oleh orang-orang yang tertentu saja.
e. Manusia
dapat bersatu dengan Tuhan.
Perkembangan dan intergrasi gnoticisme memuncak
dalam pemikiran filsuf Kristen yang dikenal dengan Marcion (144 M). Menurut
pandangan mereka, diri Yesus sendiri dilambangkan sebagai pusat gnosis, diri
yang mempersatukan antara yang mengetahui dan yang diketahui, antara material
dan spiritual dan hanya Yesus sendiri saja yang bersatu dengan Tuhan. Tetapi
dalam perkembangan selanjutnya gnosis dapat pula dilimpahkan Tuhan kepada
orang-orang tertentu disetiap waktu dan jaman.
B. Majusi / Zoroaster
Merupakan ajaran Zarathustra yang lahir 258 tahun
sebelum Iskandar Agung atau sekitar abad ke-6 SM. Pokok ajarannya terkandung
dalam kitab suci Zean Avesta (zean = penjelasan, avesta = hukum). Zarathustra
mengajarkan adanya dewa-dewa yang terbagi dua bagian, yang tertinggi Ahura
Mazda (Ormudz) adalah Tuhan Terang (Lord of Light) memancarkan Vaho Manah
(pikiran baik), Asha Vahista (keadilan tertinggi), Khashathra Vairya (kerajaan
Tuhan), Spenta Aramaiti (kebaktian saleh), Haurvatat (keselamatan) dan Ahriman
(Agramanyu) adalah tuhan gelap (spirit of evil) memancarkan berbagai sifat
kejahatan dan keburukan. Peperangan antara kedua golongan dewa tersebut
menimbulkan konsepsi tentang kejadian alam (kosmogini) dan eschatologi.
Salah satu aliran yang besar pengaruhanya adalah
aliran Manes (Manichanism school) yang dikalangan theologi Islam dikenal dengan
sebutan kaum zindik. Manes hidup sekitar pertengahan abad ke-3 SM. yang
kemudian mengaku dirinya sebagai Nabi pembaharu agama Zoroaster. Didalam
ajaran-ajarannya tampak pengaruh Budhisme dan Gnoticisme dengan bertitik tolak
dari dualisme zoroaster. Yang terpenting dari ajarannya adalah pemberian arti
kerohanian dari pergulatan antara terang dan gelap dalam ajaran zoroaster
tersebut.
Dalam rangka pengertian kerohanian itulah
pengikutnya diwajibkan untuk bertapa dan berlaku zuhud, tidak boleh kawin,
berpuasa terus-menerus paling tidak 7 hari dalam sebulan, bersembahyang terus
menerus dan sekurangnya 12 kali sujud kepada matahari terbit sebagai lambang
dari dewa Ahura Mazda, tidak menyembelih binatang dan meninggalkan dunia ramai.
Pertarungan antara yang baik (terang) dengan yang buruk (gelap) dalam diri
seseorang mengharuskan semua ketentuan ini dilaksanakan dan akhirnya jiwa harus
dapat mengalahkan keburukan (kegelapan).
C. Filsafat India
Anak benua India ditaklukkan oleh Jendral Muhammad
Al-Qasim atas perintah Hajjaj bin Yusuf, panglima Khalifah Abdul Malik bin
Marwan dari Bani Umayyah. Penduduk India sudah menganut agama Hindu dan Budha.
Bangsa India juga sudah terpengaruh budaya Hellanisme ketika seelumnya pernah
ditaklukkan oleh Alexander Agung.
Hinduisme
Menurut ajaran Hindu, konsepsi tentang diri (self)
merupaka sesuatu yang menarik. Diri itu adalah sesuatu yang abadi, tidak
dilahirkan dan tidak pernah mati, merupakan konsepsi yang jelas tampak dalam
Weda dan Bhagawat Gita. Setiap diri (self) selalu identik dan bersifat tetap.
Disamping diri, dimiliki macam ragam hal dan keadaan yang tidak tetap dan
selalu berubah, dan ini bersumber dari pengalaman. Dalam hubungannya dengan
jagad raya, ia bersumber dari yang tidak berubah, mutlak dan universal dalam
bentuk kenyataan yang dijumpai dalam kekhususan yang mempunyai
banyak ragam bentuk dan sifatnya yang selalu berbah dan saling bertentangan.
Diantara diri dan dan pengalaman alamiah itu manusia meski mendirikan
kehidupan. Dalam hal ini, masih banyak yang belum diketahuinya dan filsafat
India mengangkat masalah ini dalam filsafat maya. Filsafat India
menyatakan bahwa dalam memecahkan masalah maya, hendaknya jangan melalui
kemampuan rasio, tapi menggunakan batin. Sebagaimana Plato dan Kant di dunia
Barat, maka Nagarjuna dan Samsara dari India menyatakan bahwa
pikiran (rasio) kita hanya bersangkut paut dengaan hal-hal yang relatif dan
tidak berkaitan dengan hal yang mutlak.
Meskipun ada wujud yang mutlak itu tidak diketahui
melalui ratio namun masih bias dirasakan dan kemudian dipecahkan melalui
perasaan. Ada (wujud) dan diri (self) adalah kesatuan kenyataan dari yang paling
rahasia dan paling mendalam dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali diri itu
sendiri.
Inilah pokok-pokok pikiran wihdatul wujud dalam
alam pikiran Advaita yang dianut oleh Gaudapada dan Samkara. Dari pokok pikiran
itu berkembang lebih lanjut bahwa dunia adalah kesamaan yang telah menjadi
perbedaan. Yang satu tidak terasing dari yang lainnya, sedang Tuhan adalah
tempat yang paling dalam, pangkal kebersamaan semesta. Dunia adalah bentuk
lahir daripadanya.
Kitab-kitab Upanisad, Veda, Baghawat Gita penuh
dengan pikiran-pikiran Wahdatul Wujud, Inkarnasi dan Reinkarnasi roh dan
sebagainya. Dari pikiran-pikiran itu menunjukkan bahwa alam semesta itu bukan
dijadikan dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo) tetapi ia berasal dari
sesuatu yang sudah ada hanya mengalami perubahan bentuk. Ia menggambarkan bahwa
alam semesta ini tidak ubahnya seperti sebuah besi yang amat pijar membara
dalam api yang begejolak mengeluarkan cahaya dan lentingan-lentingan
bara. Dunia ini adalah sebiji lentingan bara dari besi pijar tersebut,
maka alam semesta ini bukanlah dijadikan dari tidak ada menjadi ada tetapi merupakan
limpahan daripadaNya. Pemikiran itu diungkapkan oleh filsuf Muslim yaitu
Al-Biruni (440 H/1048 M) dalam alam pikiran Islam dalam bukunya Tahqiq ma lil
hindi min Maqulah dan Al-Itsarul Baqiyah.
Disamping itu diterjemahkan juga Siddarta dari
Brahmagupta, suatu risalah tentang Astronomi yang dilakukan oleh Fazari yang
kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Astronomi dalam Islam.
Sejak Abu Ja’far Al-Mansyur berkuasa, telah dilakukan penerjemahan berbagai
buku tentang medis India dan lain-lain bidang ilmu, terutama pada masa menteri
Yahya Al-Barmaki.
Budhisme
Filsafat Budhisme menitik beratkan ajarannya untuk
selalu berperilaku baik, berpikiran dan berniat baik, melakukan meditasi,
mengekang keinginan hawa nafsu agar jiwa manusia lepas dari samsara
(keinginan-keinginan rendah) untuk mencapai nirwana yaitu suasana batin yang
damai, lepas dari pengaruh semua keinginan-keinginan.
V. Lahirnya Ilmu Kalam
Dalam Al-Qur’an kita temui ayat-ayat yang
berhubungan dengan usaha bebas manusia dan ada pula yang menggambarkan akan
adanya jabr (pemkasaan kehendak) Allah dan masalah takdir. Disamping itu
Al-Qur’an juga menuturkan tentang adanya sifat-sifat Tuhan yang membawa kepada
tanzih mutlaq, juga terdapat ayat-ayat tentang penyerupaan Tuhan dengan mahkluk
(tasybih) dan penyebutan anggota tubuh Tuhan (tajsim).
Menurut Ibnu Khaldun, terhadap berbagai ayat sifat,
tasybih dan tajsim para sahabat dan ulama-ulama salaf tidak berselisih dan
semuanya menerima dan meng imani tanpa menafsirkannya. Mereka tidak mau
menggunakan rasio untuk membahas dan menta’wilkan ayat-ayat mutasyabih
tersebut.
Perkembangan selanjutnya muncul pembahasan dan
pendapat mengenai takdir, usaha bebas manusia, pelaku dosa besar, membahas
sifat-sifat Tuhan, ayat-ayat tasybih dan tajsim dan masalah theologi lainnya.
Maka mulai muncul aliran Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar, Aliran
Syiah Sabaiyah yang dipengaruhi filsafat inkarnasi tuhan, Aliran Jabariyah yang
menafikan ikhtiar bebas manusia, Aliran Qadariah yang menolak takdir Allah,
Aliran murjiah yang menyatakan iman cukup dengan keyakinan hati.
Pada tahun 148 H Khalifah Abu Ja’far Al Manshur
dari Bani Abbas menderita sakit, semua dokter pribadinya tidak ada yang mampu
menyembuhkan sakitnya. Atas saran menterinya kemudian didatangkan dokter yang
terkenal dari perguruan Jundishapur George Bakhtishu dan berhasil menyembuhkan
penyakit Khalifah, kemudian Khalifah memintanya untuk menjadi dokter pribadi di
Istana Khalifah.
Goerge Bakhtishu adalah seorang dokter
dan ilmuwan yang luas pengetahuannya dan banyak menulis buku tentang ilmu
kedokteran. Dari George Buktishu inilah pihak istana mengenal perguruan
Jundishapur dan Khalifah tertarik untuk mendatangkan para ahli ilmu filsafat
dari Jundishapur ke Baghdad dan menterjemahkan beberapa buku ilmu pengetahuan
Yunani.
Usaha penterjemahan buku-buku Yunani ini terus
berlangsung pada pemerintahan Khalifah Al-Mahdi. Pada era Khalifah Harun
Al-Rasyid, dikirim delegasi ke Bizantium untuk membeli manuskrip-manuskrip ilmu
kedokteran dan ilmu-ilmu pengetahuan filsafat Yunani yang lainnya. Usaha
penterjemahan buku-buku kedokteran dan filsafat tersebut mencapai puncaknya
pada masa Khalifah Al-Ma’mun.
Pada tahun 217 H, Khalifah Al-Ma’mun mendirikan
Baitul Hikmah yang merupakan perpustakaan, pusat penterjemahan, pusat study dan
pembahasan ilmu filsafat (meliputi astronomi, fisika, kimia, matematika, ilmu
alam, logika) dan kedokteran yang paling “up date” pada jaman itu.
Usaha penerjemahan dilakukan oleh para
penterjemah yang termasyhur pada saat itu antara lain :
1. Hunain bin Ishaq (809-873 M),
pemimpin Darul Hikmah, seorang Kristen yang menguasai Bahasa Arab, Suryani
(Syria) dan Yunani. Ia menterjemahkan 20 buku karya Galen kedalam bahasa Syria
dan 14 buku lain kedalam bahasa Arab. Menurut riwayat Hunain mempunyai 90
asisten dan murid dalam kegiatan penerjemahan tersebut.
Karya-karya yang diterjemahkan antara
lain, filsafat Galen tentang Risalah tentang Pembuktian (Treatise on
Demonstration), Sillogisme Hipotesis (Hypothetical syllogism), Etika (Ethics)
dan beberapa komentar Galen terhadap karya-karya Plato seperti
Sophist,Parmindes, Cryatylus, Euthydenus, Timaeus, Statesman, Republic, Laws.
Hunain juga menulis beberapa Risalah
seperti : Gramatika Bahasa Yunani (Greek Grammar), Risalah Air Pasang (A
Treatise on the Salinity of Sea Water), Risalah tentang warna (A Treatise on
Colors), Risalah tentang Pelangi (A Treatise on Rainbow).
2. Ishaq bin Hunain (Wafat tahun 910 M)
dibantu Hubays keponakan Huain menterjemahkan karya Plato dan Aristoteles
seperti Categories, Hermeneutica, Sophist, bagian-bagiandari Timaeus.
3. Sabit bin Qurra (825-901 M), seorang
Shabiin, penyembah bintang. MenterjemahkanPhysica Aristoteles, Uraian tentang
Bintang-Bintang dan pengaruhnya (The Nature of the Stars and Their Influences),
Uraian tentang Azas-Azas Etika dan Musik (Principles of Ethics and Music),
Almageste karya Euclidus tentang Astronomi.
4. Qusta bin Luqa, seorang Kristen
menterjemahkan Ungkapan-ungapan para filosof (The Saying of Philosophers),
Perbedaan Roh dan Jiwa (The difference between Soul and Spirit), Risalah
tentang atom (A Treatise on the Atom), Pengatar Logika (Introduction to Logic).
5. Abu Bisyr Mata bin Yunus (wafat
tahun 939 M), seorang Kristen menterjemahkan karya Aristoteles yaitu :
Etegories, Hermeneutica, Analitica Priora dan Analitica Postriora.
Semua Ilmu-ilmu pasti alam terjemahan dari
buku-buku Ilmu pengetahuan Yunani itu pada waktu itu semuanya disebut ilmu
filsafat dan merupakan ilmu yang dianggap “elit”. Metode ilmiah dan logika
berpikir rasional menurut ilmu filsafat Yunani itu disebut dengan metode
“scholastic” yang dianggap lebih superior dan bergengsi pada jaman itu.
Sebagian ulama kaum muslimin yang telah mempelajari
metode scholastic ala filsafat Yunani akhirnya terpengaruh dalam pola pikir
yang rasional, terstruktur, logic dan mengedepankan akal (rasio). Metode
scholastik itu banyak digunakan oleh para ahli ilmu kalam untuk menjelaskan dan
mempertahankan argumen mereka tentang bahasan-bahasan ilmu kalam yang
berseberangan pendapat dengan mereka.
Firman Allah dalam QS An-Nahl : 125 :
“Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan
secara bijaksana dan perkataan yang baik dan bantahlah mereka itu dengan jalan
yang lebih baik.”
a. Terhadap
orang musyrik yang menuhankan benda langit (bintang, bulan, matahari),
maka ditolak dengan ayat :
“Ketika malam telah menjadi gelap,
Ibrahim melihat bintang, lalu dia berkata : “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala
bintang itu tenggelam, dia berkata : “Aku tidak suka kepada sesuatu yang
tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan itu terbit, dia berkata :
“Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata :
“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku
termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit,
dia berkata : “Inilah Tuhanku, inilah yang lebih besar.” Tetapi setelah
matahari itu terbenam, dia berkata : “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan” (QS Al-An’am 76-78).
b. Terhadap yang menuhankan Nabi Isa,
maka ditolak dengan ayat :
“Dan ingatlah ketika Allah berfirman :
“Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia : Jadikanlah aku
dan ibuku sebagai Tuhan selain Allah ? Isa menjawab : “Maha suci Engkau,
tidaklah patut bagiku apa yang bukan hakku mengatakannya” (QS Al-Maidah : 116).
c. Terhadap orang yang menyembah
patung-berhala, maka ditolak dengan ayat :
“Dan ingatlah diwaktu Ibrahim berkata
kepada bapaknya Azar : ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan
? Sesungguhnya aku melihat kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al-An’am :
74).
d. Terhadap yang tidak percaya kepada
hari kiamat dan kehidupan akhirat, maka dibantah dengan ayat :
“Yaitu pada hari Kami gulung langit
bagai menggulung lembaran-lembaran kertas, sebagaimana Kami telah memulai
penciptaan pertama. Begitulah Kami mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti
Kami tepati, bahwasanya Kami benar-benar akan melaksanakannya.” (Al-Anbiya :
104).
e. Terhadap orang yang menolak adanya
takdir, maka mereka termasuk orang munafik berdasarkan ayat :
“Mereka (orang Munafik) berkata :
“Apakah bagi kita barang sesuatu hak campur tangan dalam urusan ini ?
Katakanlah : ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya ditangan Allah. Mereka
menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu.
Mereka berkata : ‘Sekiranya bagi kita ada barang sesuatu atau hak campur tangan
dalam urusan ini niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) disini.
Katakanlah : ‘Sekiranya kamu ada dirumahmu, niscaya orang-orang yang telah
ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar juga ke tempat mereka terbunuh. Dan
Allah berbuat demikian untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Dan Allah
Mengetahui apa yang didalam hati.” (QS Ali-Imran :154).
Pada perkembangan selanjutnya metode scholastik
yang rasional itu diterapkan juga dalam pemahaman dalam agama Islam yaitu dalam
membahas sifat-sifat Tuhan, dosa besar, takdir, ayat-ayat mutasyabih, tasybih,
tajsim dan masalah kemakhlukan Al-Qur’an. Kelompok tersebut dikenal sebagai
aliran Mu’tazilah.
Mereka banyak mempelajari buku-buku terjemahan
filsafat Yunani, lebih mengedepankan rasio, menguasai ilmu mantiq (logika) dan
metode perdebatan versi Aristoteles. Aliran Mu’tazilah ini dikenal suka
berdebat dan didukung penuh oleh Khalifah Al Ma’mun.
Sebagian ulama Islam yang mendapat hidayah Allah,
lurus hatinya dan benar akidahnya tergugah untuk menghadapi segala pemikiran
akidah yang menyimpang (terutama dari kalangan ahli filsafat kaum Mu’tazilah)
dan berusaha membela sunnah dan akidah Islam yang benar menurut manhaj salafus
saleh menggunakan metode scholastik ahli ilmu kalam dengan keterangan, argumen
dan alasan yang terstruktur rapi hingga dapat menjelaskan kepalsuan pemikiran
yang menyimpang tersebut. Dengan demikian lahirlah ilmu kalam dan para
ulama ahli ilmu kalam.
VI.
Aliran Khawarij
Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti
keluar (seperti keluar melesatnya anak pakah dari busurnya). Setelah
terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, seluruh kaum muslimin membaiat Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah, namun gubernur Syam yaitu Muawiyyah bin Abu Sofyan
tidak mau membaiatnya, bahkan memberontak dan berusaha merebut kekhalifahan.
Maka terjadilah perang Shiffin antara Ali melawan Muawiyyah.
Tentara Syam sudah tersudut dan hampir kalah, untuk
menunda kekalahan Amr bin Ash, salah seorang panglima Muawiyah mengusulkan agar
Al-Qur’an diikat pada ujung tombak dan menawarkan perundingan damai dengan
pihak Ali. Siasat tersebut kemudian dilaksanakan dan berhasil membuat para
Qurra (penghafal Al-Qur’an) dari kalangan tentara Ali bin Abi Thalib
menghentikan peperangan dan didukung oleh sebagian anggota tentara Ali bin Abi
Thalib.
Akhirnya antara pihak Ali dan Muawiyah
masing-masing mengirimkan seorang wakil untuk melakukan perundingan arbitrase
mencari solusi damai atas pertikaian perebutan kekhalifahan yang sedang
terjadi. Khalifah Ali mula-mula menunjuk Abdullah bin Abbas sebagai wakilnya,
namun penunjukan Ali tersebut ditolak dan ditentang oleh sebagian tentaranya.
Akhirnya pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan pihak Muawiyah
diwakili oleh Amr bin Ash.
Kedua juru runding itu sebelumnya sepakat
menurunkan Ali dan Muawiyah dari kekhalifahan untuk kemudian mencari orang ke
tiga yang akan diangkat sebagai khalifah yang baru. Mula-mula yang pertama naik
ke mimbar adalah Abu Musa Al-Asy’ari wakil dari kelompok Ali menyatakan
menurunkan Ali dari kekhalifahan. Giliran kedua Amr bin Ash naik ke mimbar,
tetapi Amr bin Ash tidak menepati kesepakatan sebelumnya yang telah dibuat.
Saat diatas mimbar Amr bin Ash menetapkan Muawiyah sebagai khalifah yang syah.
Menyadari kelicikan siasat Amr bin Ash maka hasil arbitrase tersebut tidak
diakui oleh pihak Ali.
Sebagian pengikut Ali tiba-tiba menolak dan
mengecam arbitrase tersebut dan menyalahkan Ali karena mau melakukan “tahkim” atau
arbitrase tersebut. Mereka keluar dari barisan pengikut Ali dan membentuk
kelompok sendiri yang dikenal sebagai kelompok khawarij.
Mereka berjumlah sekitar 12.000 orang dan
memusatkan gerakannya di Harurah, sehingga kelompok ini dikenal juga dengan istilah
kelompok Haruriah. Mereka berpendapat bahwa Ali telah menjadi kafir karena mau
melakukan tahkim arbritase dan menuntut Ali agar melakukan tobat. Demikian juga
mereka mengkafirkan Muawiyah yang dianggap salah satu penyebab pertumpahan
darah sesama kaum muslimin.
Kaum khawarij dikenal banyak membaca Al-Qur’an,
rajin puasa dan tahajud namun suka berbuat anarkis, merampok baitul mal
gubernur Basrah, mengkafirkan dan membunuh orang-orang yang tidak sefaham
dengan mereka. Suatu ketika ada khafilah yang berpapasan dengan mereka,
kemudian khafilah itu ditanya pendapatnya tentang Ali dan peristiwa arbitrase,
khalifah itu memberi penilaian yang baik kepada Ali, maka merekapun membunuhnya
dan semua anggota rombongan khalifah termasuk seorang wanita yang sedang hamil.
(Uraian yang lebih rinci dan detail tentang perang
Shiffin, awal mula munculnya kelompok Khawarij, dialog dan diskusi Ibnu Abbas
dengan mereka sebagai usaha untuk menarik kembali mereka kebarisan Khalifah
Ali, penumpasan kelompok Khawarij oleh Khalifah Ali dalam perang Nahawan, dsb
bisa dibaca pada buku Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir atau Tharikh
(sejarah) Khulafaur Rasyidin atau buku Nahjul Balagah atau buku-buku tentang
biografi Imam Ali bin Abi Thalib)
Kelompok Khawarij awal mulanya hanya kelompok
politik, tapi kemudian berkembang menjadi aliran ilmu kalam. Mereka telah
keluar dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.
Adapun pokok-pokok pikiran mereka dalam
ilmu kalam adalah :
a. Menolak tahkim /
arbitrase.
b. Membolehkan Khalifah bukan
dari suku Quraisy, bahkan dari kalangan mana saja.
c. Mengharuskan seorang
khalifah berbuat adil dan menetapi syariat Islam.
d. Khalifah yang dianggap
telah menyimpang dari syariat Islam wajib diturunkan, bila perlu secara paksa
dan dibunuh.
e. Melakukan pemberontakan
kepada Khalifah yang mereka anggap dzalim dan tidak adil.
f. Menganggap
pelaku dosa besar adalah kafir.
g. Membolehkan membunuh
golongan diluar kelompoknya.
Aliran Khawarij dalam perkembangan selanjutnya
pecah lagi menjadi beberapa sekte dari yang paling keras adalah sekte Azariqah
dibawah pimpinan Nafi Ibnu Azraq. Golongan ini berpendapat bahwa orang-orang
Islam yang tidak sefaham dengan mereka adalah kafir dan akan kekal
selama-lamanya dalam neraka, walaupun ia meninggal ketika masih anak-anak.
Termasuk dalam sekte ini adalah Abdurrahman bin Muljam yang membunuh Khalifah
Ali ketika sedang sholat Subuh di Kufah.
Ada juga sekte yang lebih lunak seperti kelompok
Najdah Ibnu Amir Al-Hanafi dari Yamamah, kelompok Ziad Ibnu Asfar. Sedangkan
yang paling lunak adalah sekte Ibadiah pimpinan Abdullah bin Ibad yang tidak
sampai mengkafirkan dan masih menganggap Islam kelompok diluar mereka.
VII. Aliran
Syiah
Syiah artinya pendukung, maksudnya pendukung Ali
bin Abi Thalib. Pada akhir masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, seorang
Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba menyatakan diri masuk Islam. Sewaktu
masih menganut agama Yahudi ia pernah mengatakan bahwa Yusya’ bin Nun adalah
seorang yang diberi wasiat oleh Nabi Musa untuk melanjutkan memimpin Bani
Israil. Setelah masuk Islam, dia menghembuskan doktrin bahwa Ali telah menerima
wasiat dari Nabi Muhammad sebagai khalifah sepeninggal beliau. Lebih dari itu
Abdullah bin Saba mengajarkan bahwa pada diri Ali itu mengandung unsur
ketuhanan.
Abdullah bin Saba mengembara ke kota-kota Islam
seperti Mesir, Basrah dan Kufah menyebarkan ajarannya itu. Pada tahun ke enam
masa kekhalifahan Usman bin Affan, kerabat Usman dari kalangan Bani Umayyah
banyak yang menduduki jabatan penting, seperti gubernur, sekretaris, bendahara
baitul mal. Tindakan para pejabat yang terdiri atas Bani Umayah kerabat
Khalifah Usman banyak yang menyengsarakan rakyat dan dikenal korup. Pada tahun
ke dua belas datanglah delegasi rakyat Mesir, Basrah dan Kufah mengadukan
kezaliman para Gubernur mereka. Mereka menuntut agar Usman memecat dan
mengganti mereka. Khalifah Usman menyanggupi tuntutan mereka dan mengeluarkan
surat pemecatan Abdullah bin Abu Sarah, Gubernur Mesir. Sebagai penggantinya
Khalifah Usman mengangkat Muhammad bin Abu Bakar. Delegasi penduduk Mesir pun
pulang disertai Muhammad bin Abu Bakar, calon gubernur yang baru dengan membawa
surat pemecatan dari Khalifah Usman.
Pada saat perjalanan kembali ke Mesir, ditengah
jalan rombongan penduduk Mesir disalip oleh seorang penunggang kuda yang
berkuda cepat menuju ke arah Mesir pula. Merasa curiga rombongan penduduk Mesir
mengejar dan menangkap penunggang kuda itu. Setelah diinterogasi, pada
kantung minumannya ditemukan surat perintah berstempel resmi Khalifah Usman
yang isinya perintah untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar dan beberapa tokoh
penduduk Mesir yang sebelumnya ikut datang ke Madinah.
Mengetahui hal itu penduduk Mesir dan Muhammad bin
Abu Bakar tidak jadi meneruskan perjalanan pulang ke Mesir, melainkan kembali
lagi ke Madinah. Khabar perintah pembunuhan dari Khalifah Usman itu pun cepat
menyebar dan sampai pula pada rombongan penduduk Basrah dan Kufah. Mereka semua
pun datang kembali ke Madinah.
Dengan suasana emosional mereka mengepung rumah Khalifah
Usman dan meminta penjelasan atas perintah pembunuhan tersebut. Khalifah Usman
bersumpah tidak menuliskan dan tidak pernah menyuruh seseorang untuk membuat
surat perintah tersebut. Kecurigaan mengarah kepada Marwan bin Hakam, keponakan
sekaligus menantu Khalifah Usman yang merupakan pemegang stempel ke khalifahan.
Namun Khalifah Usman enggan untuk menyerahkan Marwan bin Hakam kepada pihak
pengepung.
Ketegangan terus terjadi dan semakin memuncak dan
berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan oleh orang-orang yang
mengepung rumahnya. Mayoritas kaum Muslimin akhirnya membaiat Ali bin Abi
Thalib menjadi khalifah namun Muawiyah bin Abi Sofyan tidak mau mengakuinya dan
bahkan menyatakan dirinya sebagai khalifah.
Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
Awwam mulanya turut membaiat Ali sebagai khalifah, kemudian mereka berdua
menuntut jabatan sebagai gubernur Basrah dan Kufah, namun tuntutan mereka tidak
dikabulkan oleh Khalifah Ali, dengan alasan tidak mau memberikan jabatan kepada
orang yang berambisi dan menuntutnya.
Akhirnya Talhah dan Zubair memberontak kepada Ali
dengan alasan menuntut bela atas terbunuhnya Usman bin Affan. Keduanya berhasil
membujuk Aisyah Ummul Mukminin untuk turut bergabung dalam perang Jamal.
Khalifah Ali pun mengirim tentara untuk memadamkan pemberontakan itu dan
terjadilah pertempuran di kota Basrah. Pada perang Jamal pihak Khalifah Ali
berhasil memenangkan pertempuran. Talhah dan Zubair terbunuh, sedangkan Aisyah
Ummul Mukiminin dikembalikan dengan hormat ke Madinah.
Dalam perang Jamal, Khalifah Ali melihat tentaranya
yang berasal dari penduduk Kufah paling loyal terhadap dirinya. Setelah perang
Jamal Khalifah Ali memutuskan memindahkan ibukota pemerintahannya ke Kufah.
Pada saat di Kufah sebagian orang Kufah yang telah terpengaruh oleh ajaran
Abdullah bin Saba ada yang mendatanginya dan berlebihan dalam mendukung dan
mencintainya dan bahkan ada yang mengatakan bahwa “engkau Ali adalah tuhan”.
Ketika khalifah Ali bertanya kepada mereka, “Siapa kalian ?” mereka menjawab,
“Kami adalah syiah (pendukung) Ali.” Sejak itu kelompok yang dikenal sangat
fanatik kepada Ali bin Abi Thalib disebut sebagai “Syiah”
Kaum Syiah pengikut Abdullah bin Saba dikenal
sebagai Syiah Sabaiyah. Syiah Sabaiyah ini termasuk dalam kelompok Syiah Ghulat
(ekstrim) yang sampai pada taraf menuhankan Ali bin Abi Thalib. Syiah Ghulat
mempercayai adanya reinkarnasi (hulul) unsur ketuhanan pada Ali dan
keturunannya.
Syiah Bayaniah, pengikut Bayan bin
Sam’an menyatakan bahwa Tuhan tercipta dari cahaya yang berbentuk tubuh
sebagaimana manusia dan semuanya akan hancur terkecuali ‘wajah’ nya saja.
Syiah Mughiyitah pimpinan Al-Mughirah
bin Said mengatakan Tuhan itu laki-laki, berjisim (bertubuh) dari cahaya,
diatas kepalanya ada mahkota yang juga dari cahaya, memiliki jantung yang
memancarkan ilmu-ilmu hikmah.
Mereka mengambil dari makna literal ayat-ayat
Al-Qur’an yang menggambarkan tentang Tuhan dan menjadi penganut
anthropomorpisme (menyerupakan Tuhan seperti manusia). Mereka jatuh pada
tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk), faham yang demikian dinamakan
Musyabbihah. Mereka juga jatuh pada tajsim (menetapkan Tuhan ber jism /
bertubuh), faham yang demikian disebut Mujasimah.
Syiah Imamiah berpendapat bahwa yang berhak menjadi
Khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Mereka menganggap Abu
Bakar, Umar dan Usman telah menyerobot hak khilafah Ali bin Abi Thalib sehingga
syiah imamiah sangat membenci dan suka mencaci-maki para Sahabat Nabi tersebut.
Syiah Itsna Asyariyyah (dua belas imam)
menetapkan dua belas imam Syiah yang dianggap maksum, yaitu :
1. Ali bin Abi
Thalib
2. Hasan bin
Ali
3. Husein bin
Ali
4. Ali Zainal
Abidin bin Husein
5. Muhammad
Al-Baqir
6. Ja’far
Shodiq
7. Musa
Al-Kazhim
8. Ali Al-Ridha
9. Muhammad Al-Jawad
10. Ali an Naqi
11. Hasan Al-Asykari
12. Muhammad bin Hasan Al-Asykari,
Al-Mahdi Al-Mukthadhar, imam yang kedua belas ini dipercaya ghaib (menghilang)
di Samarah dan dipercaya akan muncul kembali sebagai Imam Mahdi Al-Muktadhar
(yang ditunggu) menjelang akhir jaman.
Namun kaum syiah berbeda pendapat mengenai siapa
imam-imam syiah keturunan Ali yang diakui sebagai imam, Syiah Ismailiyyah
menetapkan Ismail bin Ja’far Shadiq sebagai imam yang syah. Dalam perkembangan
selanjutnya Syiah Ismailiyyah ini pecah lagi menjadi beberapa sekte yaitu Syiah
Bathiniyyah, Karmatiyyah, Qaramithah dan Ta’limiyyah. Disebut Bathiniyyah
karena keyakinan mereka bahwa imam-imam mereka yang maksum mengetahui ta’wil
ayat-ayat Al-Qur’an secara ‘isoterik’ atau imam mereka memahami makna ‘batin’
dari Al-Qur’an. Kelompok Syiah Ismailiyyah-Batiniyyah inilah yang dikemudian
hari berhasil mendirikan pemerintahan Syiah Buwaitih-Fatimiyyah di Mesir, lepas
dari kekuasaan Bani Abbas di Baghdad.
Kelompok Syiah yang lebih moderat dan dekat dengan
faham suni adalah Syiah Zaidiyah, pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin. Imam
Zaid dikenal sebagai ahli fiqih dari kalangan syiah yang fahamnya dekat dengan
faham suni. Imam Zaid berpendapat bahwa walaupun Ali lebih berhak menjadi
khalifah, namun kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman tetap syah. Jadi Imam
Zaid membolehkan mengangkat imam yang utama walaupun bukan yang paling utama.
Kelompok Syiah yang tidak setuju dengan pandangan
Imam Zaid ini dikenal sebagai Syiah Rafidah (menolak) yaitu menolak pendapat
imam Zaid dalam masalah imamah. Kelompok Syiah Rafidah ini dikenal paling suka
mencaci maki Sahabat Nabi (terutama Abu Bakar dan umar) yang dianggap telah
menyerobot hak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dan dikenal banyak memalsukan
hadits untuk memperkuat pendapat kelompoknya.
Kaum Syiah memperbolehkan “taqiyyah” yaitu
menyembunyikan mazhab Syiah mereka, apabila keadaan tidak memungkinkan dan
mengancam keselamatan dan eksistensi mereka. Pada masa kekhalifahan
Al-Mustashim (609-659 H), salah seorang menteri kepercayaannya adalah Muayyidin
Al-Alqami, seorang penganut Syiah Rafidah yang ber “taqiyyah”
menyembunyikan faham Syiah Rafidahnya. Menteri ini selalu berhubungan secara
rahasia dengan orang-orang Mongol dan mengatur siasat agar orang-orang Mongol
dapat memasuki Baghdad. Tujuannya agar kekuasaan Bani Abbas yang sunni runtuh
dan dia menginginkan agar kekuasaan beralih ke tangan orang-orang alawiyin
(keturunan Ali). Konspirasi itu berhasil dengan baik, pada tanggal 10 Muharram
656 H akhirnya Baghdad jatuh ketangan orang-orang Mongol dibawah pimpinan
Hulagu Khan.
(Uraian yang lebih rinci dan detail tentang
jatuhnya kota Baghdad ketangan Mongol dapat dibaca pada buku Tarikh Khulafa’
–Sejarah Para Khalifah- karangan Imam Jallludin As Suyuthi, pada Bab Khalifah
Al-Mustashim)
Kaum Syiah yang sekarang banyak
terdapat di Iran adalah Syiah Itsna Asyariyyah yang mempercayai bahwa imam imam
mereka adalah wakil dan mendapat “legitimasi” dari Imam Syiah kedua belas
yang sedang ghaib. Fiqih mereka mengikuti Imam Ja’far Shadiq dan Imam Zaid bin
Ali Zainal Abidin. Kaum Syiah hanya mau menerima hadits dari riwayat ahlul bait
atau dari sahabat Nabi yang dikenal setia mendukung Ali seperti Salman
Al-Farisi, Ammar bin Yasir dan Abdullah bin Abbas.
VIII. Aliran Murji’ah
Murji’ah berasal dari kata arja’a yang berarti
penundaan atau penagguhan. Kaum Murji’ah berendapat bahwa seorang muslim yang
melakukan dosa besar status ke-Islaman ditangguhkan, apakah masih termasuk
muslim atau sudah menjadi kafir. Keputusannya diserahkan kelak kepada Allah di
hari perhitungan di akhirat.
Setelah Terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan,
timbul kemelut politik yang berlanjut dengan perang Nahrawan dan perang Shiffin
dan munculnya firqoh Syiah dan Khawarij. Setelah Khalifah Ali terbunuh oleh kaum
Khawarij, Bani Umayyah menduduki singgasana kekhalifahan dengan cara paksa dan
bertindak represif.
Antara Syiah, Khawarij dan Bani Umayyah satu sama
lain saling bermusuhan dan saling menumpahkan darah. Ditengah kondisi yang
demikian muncullah firqoh Murji’ah yang bersikap netral tidak memihak ke salah
satu pihak yang saling bertikai tersebut dan tidak mau terlibat dalam
pertikaian politik yang sedang terjadi.
Mereka menegaskan posisi politiknya dengan
menyatakan bahwa mereka mengakui pemerintahan Bani Umayyah karena kenyataannya
Bani Umayyah adalah Khalifah yang sedang berkuasa.Mereka tidak memberi penilain
terhadap semua kelompok yang bertikai. Mereka juga mengatakan bahwa kaum
muslimin yang tidak kuasa melawan kekuasaan Bani Umayah yang telah merebut
kekhalifahan dengan kekerasan dan banyak berbuat dzalim tidaklah mengurangi
nilai keiimanannya.
Pokok pikirannya ini kemudian berkembang menjadi
theologi Murji’ah yang berpendapat bahwa iman itu cukup dengan keyakinan yang
mantap didalam hati, adapun perkataan dan perbuatan tidak termasuk dalam iman.
Sebagaimana amal kebaikan tidaklah membawa manfaat bagi orang yang kafir,
mereka juga berpendapat bahwa dosa-kemaksiatan tidaklah mempengaruhi keimanan
seorang muslim yang hatinya tetap mantap pada Islam.
Firqoh Murjia’h terbagi dalam beberapa
sekte, diantaranya :
a. Yunusiah, pengikut Yunus bin
‘Ain An Numairi, berpendapat bahwa iman itu ma’rifat kepada Allah, tunduk dan
cinta dalam hati secara yakin. Seseorang yang berbuat maksiat tidaklah merusak
keimanannya.
b. Ghassaniah, pengikut Ghassan
Al-Murji, berpendapat iman itu adalah ikrar atau mencintai dan membersihkan.
Iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Masalah-masalah diluar iman,
tidaklah mempengaruhi kepada iman. Seperti tuhan mewajibkan naik haji, tapi ada
orang yang tidak tahu apakah Ka’bah itu di India atau di negara lain, maka
orang tersebut tetap sebagai mukmin bukan kafir.
c. Tsaubaniah, pengikut Abi Tsauban
Al-Murji, berpendapat bahwa iman adalah ma’rifah atas dasar ikrar atas Allah
dan Rasul-Nya. Masalah amal bagi sekte ini merupakan soal kedua saja. Abi Mu’az
at-Tumany dengan pengikut-pengikutnya yang dikenal dengan at-Tumaniah
berpendapat, iman berintikan ma’rifah, membenarkan, mahabbah, ikhlas dan iqrar
atas segala yang dibawa oleh Rasulullah. Inilah inti dari iman, selain itu
tidak akan membawa kepada kekufuran. Seseorang yang menyembah kepada matahari
atau bulan pada dasarnya bukan kafir tetapi mengandung benih kekafiran.
d. Al-Marisah, pengikut Bisyr Al-Murisy
tidak begitu berbeda dengan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya
diatas. Mereka mengatakan, iman itu adalah membenarkan dengan hati dan ikrar
dengan lisan. Kekafiran terjadi kalau menentang dan ingkar. Tapi kalau
seseorang sujud kepada berhala atau matahari, dia tidak kafir tetapi menyandang
tanda-tanda saja dari kekafiran.
e. As-Shalihiah, pengikut Abdul Hasan
As-Salehi, berpendapat iman itu mengetahui Tuhan dan kalau kufur adalah tidak
mengetahui Tuhan. Mereka berpendirian bahwa iman adalah ibadat dalam arti
ma’rifah kepada Tuhan. Sedang amal saleh seperti shalat, zakat, puasa, haji
semuanya hanyalah gambaran dari kepatuhan tidak termasuk ibadah kepada Allah.
Sedang ibadahnya sendiri itu adalah iman.
IX. Aliran Qadariyah
Qadariah pertama kali muncul sekitar tahun 70 H /
689 M, dipimpin oleh Ma’bad Al Juhni Al Bisri dan Ja’ad bin Dirham pada masa
pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (687-705 M). Tetapi ada juga
pendapat yang mengatakan bahwa yang pertama kali mengajarkan faham Jabariyah
adalah seorang Kristen bernama Abu Yunus Sansaweh di Iraq.
Latar belakang timbulnya firqoh Qadariyah ini
sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggap
kejam dan dzalim. Apabila firqoh Jabariyah berpendapat bahwa khalifah Bani
Umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah dan hal ini
berarti merupakan ‘legitimasi’ kekejaman Bani Umayyah, maka firqoh Qadariyah
mau membatasi masalah takdir tersebut. Mereka mengatakan bahwa kalau Allah itu
adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada
orang yang berbuat kebajikan. Manusia harus bebas memilih dalam menentukan
nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah
telah menentukan takdir manusia dan memaksakan berlakunya, maka Allah itu
zalim. Mengapa Allah menyiksa manusia karena sesuatu yang telah ditadirkan dan
dipaksakan terjadi oleh Nya ? Karena itu manusia harus merdeka memilih atau
ikhtiar bebas atas perbuatannya.
Orang-orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan
dan nasib manusia hanyalah tergantung pada takdir Allah saja, selamat atau
celaka sudah ditentukan oleh takdir Allah sebelumnya, pendapat tersebut adalah
sesat. Sebab pendapat tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti
menganggapNya pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil
Allah melakukan kejahatan. Jadi firqoh Qadariyah menolak adanya takdir Allah
dan berpendapat bahwa manusia bebas merdeka menentukan perbuatannya.
Firqoh Qadariyah mendasarkan ajarannya
kepada beberapa ayat Al-Qur’an :
“Katakanlah, kebenaran itu datang dari
Tuhanmu. Siapa yang mau beriman maka berimanlah dan siapa yang mau kafir maka
kafirlah ia.” (QS Al-Kahfi :29).
“Berbuatlah apa yang kamu kehendaki,
sesungguhnya Dia melihat apa yang kamu perbuat.” (QS Fushilat : 40).
“Bagaimana apabila bencana menimpa diri
kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang berlipat ganda, sedang kamu
bertanya : Dari mana datangnya (kekalahan) ini ? katakanlah dari kamu sendiri.”
(QS Al-Imran : 164).
“Sesungguhnya Allah tidak merubah
keadaan suatu kaum, sehingga mereka sendiri yang merubahnya.” (QS Ar-Ra’d : 11)
Faham Qadariyah segera mendapat
pengikut yang cukup banyak. Karena ajarannya dianggap membahayakan kekuasaan
Bani Umayah, dengan alasan ajaran Qadariyah dianggap menyimpang dari syariat
dan membahayakan ketertiban umum. Penguasa Bani Umayah, melalui Panglima Hajjaj
bin Yusuf menangkap Ma’bad Al Juhni dan beberapa pengikutnya kemudian dihukum
mati di Damaskus pada tahun 80 H/690 M.
Gailan Ad Dimsyaqi adalah salah satu tokoh
Qadariyah, penduduk kota Damaskus. Ayahnya pernah bekerja pada Khalifah Usman
bin Affan. Ia datang ke Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam bin
Abdul Malik (102-125 H). Gailan juga dihukum mati karena faham Qadariyahnya.
Sehubungan pendapat-pendapat Qadariyah
tersebut, sebelumnya ada Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai berikut :
Dari Hudzaifah ra. berkata :
“Rasulullah bersabda : Bagi tiap-tiap umat ada Majusinya. Dan Majusi umatku ini
ialah mereka yang mengatakan bahwa tidak ada takdir. Barangsiapa diantara
mereka itu mati, maka janganlah kalian menshalati jenazahnya. Dan barangsiapa
diantara mereka itu sakit, maka janganlah kalian menjenguknya. Mereka adalah
golongan Dajjal dan memang ada hak bagi Allah untuk mengkaitkan mereka itu
dengan Dajjal itu.” (HR Abu Dawud).
Mereka dikatakan Majusi karena berpendapat ada dua
pencipta, yaitu pencipta kebaikan dan keburukan. Hal ini sama persis dengan
ajaran agama Majusi (Zoroaster) yang mengatakan ada Tuhan Terang (Ahura Mazda)
dan ada Tuhan Gelap (Ahriman).
X. Aliran Jabariyah
Firqoh Jabariyah timbulnya hampir bersamaan dengan
timbulnya Qadariyah dan tampaknya merupakan reaksi daripadanya. Daerah tempat
timbulnya juga tidak berjauhan. Qadariyah muncul di Iraq, sedangkan Jabariyah
muncul di Khurasan (Iran).
Pemimpinnya yang pertama adalah Jahm bin Sofyan, oleh sebab itu kadang firqoh
ini disebut Jahmiyah. Ajaran-ajarannya banyak persamaannya dengal aliran Qurro’
agama Yahudi dan aliran Yacobiyah agama Nasrani. Pada mulanya Jahm bin Sofyan
adalah juru tulis dari seorang pemimpin bernama Suraih bin Harits Ali Nashar
bin Sayyar yang memberontak di daerah Khurasan terhadap kekuasaan Bani Umayyah.
Dia terkenal orang yang tekun dan rajin menyiarkan agama. Fatwanya yang menarik
adalah bahwa manusia tidak mempunyai daya upaya, tidak ada ikhtiar dan tidak
ada kasab. Segala perbuatan manusia itu terpaksa (majbur) diluar kemauannya,
sebagaimana keadaan bulu ayam terbang kemana arah angin bertiup atau sepotong
kayu ditengah lautan mengikuti arah hempasan ombak. Singkatnya bahwa
orang-orang Jabariyah berpendapat manusia itu tidak mempunyai daya ikhtiar,
semuanya sudah ditakdirkan, segala gerak perbuatan manusia dipaksa oleh adanya
kehendak Allah, jadi merupakan kebalikan dari faham Qadariyah.
Jabariyah berpendapat bahwa hanya Allah sajalah
yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatan
manusia itu sejak semula sudah diketahui Allah dan semua amal perbuatan itu
adalah berlaku dengan kodrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mencampurinya sama
sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia sendiri. Kodrat
dan Iradat Allah adalah mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada hakikatnya
segala perbuatan dan gerak-gerik manusia semuanya merupakan paksaan (majbur)
oleh Allah semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itupun semata-mata paksaan pula,
sekalipun nantinya manusia memperoleh balasan surga atau neraka. Pembalasan
berupa surga atau neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan dan kejahatan
yang diperbuat manusia semasa hidupnya. Surga dan neraka itu semata-mat abukti
kebesaran Allah dalam Kodrat dan Iradat-Nya.
Kalau manusia itu diserahi kodrat dan iradat
sendiri dalam mewujudkan usahanya dan Allah saja yang menanggung kodrat dan
iradat yang menentukan perbuatan manusia tersebut, hal itu sulit diterima.
Ibaratnya orang yang diikat lalu dilemparkan kelaut, seraya diserukan
kepadanya “Jagalah dirimu, jangan sampai tenggelam.”
Akan tetapi faham Jabariyah ini melampaui batasm,
sehingga berkeyakinan bahwa tidak berdosa kalau berbuat kejahatan, karena yang
berbuat itu pada hakekatnya Allah juga. Sesatnya lagi, mereka berpendapat bahwa
bila seseorang mencuri maka pada hakekatnya Allah juga yang melakukan
pencurian. Bila seseorang mengerjakan shalat maka Tuhan pula yang melakukan
shalat. Jadi kalau orang yang berbuat buruk atau jahat lalu dimasukkan kedalam
neraka, maka Tuhan itu tidak adil, karena apapun yang diperbuat manusia
kebaikan atau keburukan tidak satupun lepas dari kodrat dan iradat Nya.
Sebagian pengikut Jabariyah beranggapan telah
bersatu dengan Tuhan. Disini menimbulkan faham wihdatul wujud, yaitu
manunggaling kawulo gusti, bersatunya manusia dengan Tuhan.
Jabariyah dalam fahamnya, mendasarkan
pada beberapa ayat Al-Qur’an :
“Tidak dapat kamu berbuat adil diantara perempuan-perempuan itu …” (QS
An-Nisa’ : 129).
“Perhatikanlah pada hari kiamat yang amat susah itu, alalu mereka diseru
supaya sujud”(Al-Qalam : 24).
“Mereka sebenarnya tidak akan percaya, sekirannya Allah tidak
menghendaki” (QS Al-An’am : 112).
“Allah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat” (QS As-Shaffat :
96).
“Bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar (musuh) tetapi
Allah lah yang melempar (mereka)” (QS Al-Hadid : 22).
“Tidak ada bencana yang menimpa di bumi dan diri kamu, kecuali telah
(ditentukan) didalam kitab sebelum ia kamu ciptakan.” (QS Al-Insan : 30).
Faham jabariyah dalam dalam theologi Islam mirip
dengan faham fatalisme dalam filsafat, yaitu beranggapan secara determinis
bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan dan kebebasan, sebab segala-galanya
telah ditentukan sebelumnya. Bagi mereka yang berfaham Deteminis Theologi maka
ketentuan itu datang dari alam makrokosmos dan mikrokosmos sebagaimana tampak
dalam filasafat Tiongkok kuno, filsafat Mesir kuno dan filsafat Parmenides dari
Yunani. Aliran Determinis Theologi berpendapat segala-galanya telah ditentukan
oleh Tuhan, sehingga manusia tidak dapat berbuat apa-apa selain menjalani
takdirnya yang dipaksakan kepadanya. Mereka rela tunduk kepada ketentuan takdir
(fatalist) yang telah ditetapkan sebelumnya (predestination) tanpa ada ikhtiar
bebas dan mereka menolak adanya kehendak bebas (libre ar bitre).
XI. Aliran Mu’tazilah
Kata Mu’tazilah berasal dari kata ‘itazala, artinya
menyisihkan diri. Imam Hasan Al Basri (wafat 110 H) adalah seorang tabi’in
besar di Basrah yang mempunyai perguruan di Masjid Raya kota Basrah. Diantara
murid-muridnya yang tergolong pandai adalah Washil bin Atho’ (wafat 131 H).
Suatu hari Imam Hasan Al Basri menerangkan bahwa seorang muslim yang melakukan
dosa besar, lalu ia meninggal sebelum bertaubat, menurut Imam Hasan Al Basri
orang itu tetap muslim, hanya saja muslim yang durhakan dan nanti kelak di
akhirat akan dimasukkan neraka sebagai hukum atas perbuatan dosanya sampai
batas waktu tertentu. Setelah itu ia akan dikeluarkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga.
Washil bin Ato’ menyanggah pendapat gurunya
tersebut dan mengemukakan pendapat yang berbeda. Ia berpendapat bahwa seorang
muslim yang melakukan dosa besar dan meninggal sebelum ber-taubat termasuk
fasik, tidak muslim dan tidak kafir. Di ahirat nanti akan berada pada suatu
tempat antara surga dan neraka. Karena itu Washil memisahkan diri dari majelis
gurunya dan membentuk halaqoh pengajian sendiri disalah satu sudut masjid
Basrah. Washil bin Atho’ diikuti oleh salah seorang temannya yang setia yaitu
Amr bin Ubaid (wafat 144 H). Terjadinya peristiwa tersebut merupakan awal
timbulnya firqoh Mu’tazilah. Saat itu Khalifah Bani Umayyah yang sedang
berkuasa adalah Hisyam bin Abdul Malik (101 – 125 H).
Pusat pergerakan Aliran Mu’tazilah :
1. Basrah, pada permulaan abad ke-2
Hijriah, dipimpin Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid. Pada permulaan abad ke-3
Hijriah dipimpin oleh Abu Hudzail Al Allaf (w. 221 H), Ibrahim bin Sayyar An
Naddham (w 221 H), Abu Basyar Al Marisi (w 218 H), Utsman Al Jahiz (w 255 H),
Ibnu Al Mu’ammar (w 210 H) dan Abu Ali Al Juba’i (w 303 H).
2. Baghdad, dipimpin oleh Basyar bin Al
Mu’tamar dibantu oleh Abu Musa Al Murdan, Ahmad bin Abi Dawud (w 240 H), Ja’far
bin Mubasysyar ( w 234 H) dan Ja’far bin Harib Al Hamdani (w 235 H).
Ajaran-ajaran Mu’tazilah mendapat dukungan dari
penguasa Bani Umayyah yaitu Khalifah Yazid bin Walid (125-126 H), sedangkan
dari Bani Abbasyah : Al Ma’mun (198-218 H), Al-Mu’tashim (218-227 H), Al-Watsiq
(227-232 H). Karena didukung penguasa faham-faham Mu’tazilah menjadi tersebar
luas. Ulama-ulama Mu’tazilah yang terkenal, diantaranya :
1. Utsman Al Jahiz (w. 255
H) mengarang kitab Al Hiwan.
2. Syarif Radli (w. 406 H)
mengarang kitab Majazul Qur’an.
3. Abdul Jabbar bin Ahmad, lebih
dikenal dengan Qadli Qudlot, mengarang kitab Syarah Ushulil Khamsah.
4. Zamakhsyari (w. 528 H)
mengarang kitab tafsir Al-Kasysyaf.
5. Ibnu Abil
Haddad (w. 655 H) mengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah.
Aliran Mu’tazilah banyak terpengaruh oleh
unsur-unsur dari luar Islam. Mereka dikenal giat mempelajari kitab-kitab
filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filasaf
Platodan Aristoteles. Ilmu logika sangat menarik perhatian mereka, karena
menunjang berfikir logis dan sistematis. Aliran Mu’tazilah dikenal lebih
mengedepankan akal pikiran (rasio) dan liberal, baru sesudah itu merujuk pada
nash-nash Al-Qur’an atau hadits.
Ciri khas lainnya dari kelompok Mu’tazilah adalah
suka berdebat, terutama dihadapan umum. Mereka yakin dengan kemapuan logika dan
akal pikiran mereka, kerena itu mereka suka berdebat dengan siapa saja yang
berbeda pendapat dengan mereka.
Meskipun firqoh Mu’tazilah terpecah lagi menjadi 22 sekte, namun semuanya masih
mempunyai lima prinsip ajaran yang mereka sepakati yaitu ushulil khamsah, yaitu
:
1. Tauhid,
bahwa Allah itu Esa. Mereka menolak sifat-sifat Allah, menetapkan sifat-sifat
bagi Allah dianggap menodai ke Esa an Allah.
2. Keadilan Tuhan,
menetapkan bahwa Allah itu adil memberi pahala bagi yang berbuat baik dan
menyiksa yang berbuat dosa, mendukung faham kehendak bebas (Qadariah) dan
menolak paham Jabariyah.
3. Janji dan Ancaman,
Mereka berpendapat karena Allah itu Maha Adil, maka mereka mewajibkan bagi
Allah memberi pahala dan surga bagi yang berbuat baik dan menyiksa dalam neraka
bagi yang berbuat jahat. Kalau hal itu tidak dipenuhi maka Allah dinilai tidak
adil.
4. Manzilah
baina Manzilatain (tempat diantara dua tempat), seorang muslim yang melakukan
dosa besar maka menjadi fasik yaitu diantara muslim dan kafir. Bila sampai
meninggal belum bertaubat, mereka berpendapat orang tersebut akan berada pada
suatu tempat diantara surga dan neraka.
5. Amar ma’ruh
nahi munkar, mereka dikenal gigih memberantas pemikiran-pemikiran sesat aliran
kebatinan dan yang tidak rasional. Bahkan sampai kepada hal-hal yang melampaui
batas yaitu ketika mereka dengan dukungan penguasa Bani Abbas mempropagandakan
kemahklukan Al-Qur’an.
Peristiwa Mihnah
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid,
salah seorang ulama Mu’tazilah bernama Basyar Al Marisy melontarkan pendapat
bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”. Pada waktu itu Khalifah Harun Al-Rasyid
mengancam orang-orang yang berpendapat seperti itu dengan hukuman yang berat.
Bahkah Khalifah Harun Al-Rasyid pernah berkata : “Jika Allah SWT memberiku umur
panjang, bila aku berjumpa dengan Basyar, niscaya akan aku bunuh dia dengan
pembunuhan yang belum pernah aku jatuhkan kepada orang lain.”
Maka Basyar Al Marisy pun ketakutan dan
menyembunyikan diri dalam waktu sekitar 20 tahun, hingga Khalifah Harun
Al-Rasyid meninggal. Sepeninggal Khalifah Harun Al-Rasyid, barulah Basyar
keluar menampakkan diri dan menyebarkan fahamnya ditengah masyarakat ramai.
Maka ajaran ini menjadi buah bibir dan pembicaraan yang ramai ditengah
masyarakat, namun Khalifah Al-Amin pengganti ayahnya Harun Al-Rasyid masih bisa
mengatasinya dan memberikan ancaman dan hukuman berat kepada orang-orang yang
mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Ketika pemerintahan berada pada Khalifah Al-Ma’mun
(saudara Al-Amin), orang-orang Mu’tazilah mendapat hati disisi Khalifah dan
mereka berhasil mempengaruhi Khalifah Al-Ma’mun dan mendukung faham bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk.
Khalifah Al-Ma’mun (198-218 H) dikenal penganut dan
pendukung utama aliran rasionalis Mu’tazilah. Atas usulan menterinya yang
menjabat sebagai Qadhi Qudhat bernama Ahmad bin Abi Daud yang juga pentolah
aliran Mu’tazilah. Pada tahun 215 H Khalifah Al-Ma’mun yang sedang berada di
Tharsus memerintahkan pejabatnya di Baghdad yang bernama Ishaq bin Ibrahim yang
juga seorang penganut Mu’tazilah untuk memprogandakan ajaran “Al-Qur’an adalah
Makhluk” dan memaksakan faham itu kepada seluruh rakyat dan para ulama.
Menurut kitab Tarikh At-Thabari, dalam
suratnya kepada Ishaq bin Ibrahim, Al-Ma’mun menuliskan :
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an
dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.”(QS Az-Zukhruf : 3)
Semua orang tahu bahwa apa pun yang
Allah jadikan adalah merupakan coptaan-Nya dengan demikian dia (Al-Qur’an)
adalah makhluk. Sedangkan Allah berfirman :
“Dan Dia jadikan kegelapan dan cahaya.”
(QS Thaha : 99)
dan firman-Nya :
“Demikianlah kami kisahkan kepadamu
(Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu.” (QS Thaha : 99).
Dalam dua ayat ini Allah memberitahukan
bahwa Dia mengisahkan beberapa kisah yang terjadi setelah Dia ciptakan. Allah
jug berfirman :
“(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya
disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci.” (QS Hud : 1)
Allah telah menyusun kitab-Nya dengan
rapi dan menjelaskannya. Dengan demikian jelas Dia adalah pencipta Al-Qur’an,
maka yang diciptakan berarti makhluk.”
(perhatikan betapa rasionalnya cara
pemikiran kaum Mu’tazilah)
Hampir semua ulama besar dipanggil ke
Baghdad untuk diuji apakah mereka sependapat dengan faham mereka. Bila tidak
sependapat para ulama itu dipaksa bahkan disiksa. Akhirnya sebagian besar ulama
banyak yang dengan terpaksa pura pura mengikuti pendapat mereka karena takut
dibunuh.
Salah satu ulama yang diinterogasi adalah Imam
Ahmad bin Hanbal, beliau satu-satunya yang tidak mau mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah makhluk. Berikut ini tanya jawab antara Ishaq bin Ibrahim dengan Imam
Ahmad bin Hanbal :
Ishaq bin Ibrahim :
“Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an ?”
Ahmad bin Hanbal : “Al-Qur’an adalah
Kalamullah.”
Ishaq bin Ibrahim : “Apakah
ia makhluk ?”
Ahmad bin Hanbal : “Ia Kalamullah aku
tidak menambahi yang lebih dari itu.”
Ishaq bin Ibrahim : “Apakah
arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat ?”
Ahmad bin Hanbal : “Itu seperti apa
yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.”
Ishaq bin Ibrahim : “Apa
maksudnya ?”
Ahmad bin Hanbal : “Aku tidak tahu, Dia
seperti apa yang Dia sifatkan bagi diri-Nya.”
Karena pendiriannya itu Imam Ahmad bin Hanbal
dipenjara dan dihukum cambuk dan aneka perlakuan kasar lainnya. Salah seorang
sahabatnya yang bernama Abu Bakar Al Mawarzi, ketika menjenguknya berusaha
membujuk dan menasehati beliau : “Ahmad, mereka memukuli anda, padahal Allah
telah berfirman : Janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan.” Maka
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Silahkan anda keluar dari sini, dan lihatlah
yang diluar sana.” Maka Abu Bakar Al Mawarzi pun melihat keluar dilihatnya
banyak orang berkerumun diserambi istana Khalifah membawa kertas dan pena. Abu
Bakar Al Mawarzi pun bertanya, “Untuk apa kalian membawa kertas dan pena ?”
Orang-orang itu menjawab, “Kami menunggu dan akan menuliskan apa yang diucapkan
Imam Ahmad bin Hanbal.” Abu Bakar Al Mawarzi kembali lagi dan menceritakan hal
itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, kemudian Imam Ahmad berkata : “ Wahai Mawarzi
apakah aku akan menyesatkan mereka semua ?, aku yakin tidak. Biarlah aku mati,
asalkan aku tidak menyesatkan orang-orang itu.” Abu Bakar Al Mawarzi lalu berguman
: “Ia mengorbankan dirinya karena Allah.”
Nyaris saja Imam Ahmad bin Hanbal akan dibunuh,
kalau saja tidak datang khabar dari Tharsus bahwa Khalifah Al-Ma’mun telah
meninggal secara mendadak. Sepeninggal Al-Ma’mun faham Al-Qur’an adalah makhluk
masih dilanjutkan oleh Khalifah penggantinya yaitu Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq.
Propaganda itu baru berhenti setelah ada peristiwa Al-Watsiq menginterogasi
seorang ulama bernama Abu Abdurrahman Abdullah bin Muhammad Adzrami (guru Imam
Abu Dawud dan Imam An-Nasa’i) yang juga dihadiri oleh tokok-tokoh ulama
Mu’tazilah
Al-Watsiq bertanya kepada para tokoh
Mu’tazilah : “Beritahukan kepada saya tentang seruan kalian kepada manusia itu
–maksudnya tentang kemakhlukan Al-Qur’an- apakah Rasulullah mengetahuinya,
namun dia tidak menyerukannya kepada manusia, atau beliau sama sekali tidak
mengetahuinya ?”
Seorang ulama Mu’tazilah, berkata
: “Rasulullah pasti tahu tentang itu.”
Abu Abdurrahman Abdullah bin Muhammad
Adzrami yang dalam keadaan diborgol, berkata : “Rasulullah mampu bersabar tidak
menyeru manusia kepada apa yang diketahuinya, sedangkan kalian tidak mampu.”
Mendengar jawaban yang diplomatis dan
cerdik itu Al-Watsiq kagum bercampur geli dan akhirnya menghentikan propaganda
tentang kemakhlukan Al-Qur’an.
Disamping lima prinsip dasar (ushulil
khomsah) dan Al-Qur’an adalah makhluk, ada beberapa ajaran-ajaran mereka yang
lain, diantaranya :
a. Menolak
memberikan sifat kepada Allah (Maha Mendengar, Maha Melihat, dsb) karena hal
itu dianggap menodai ke Esa-an Allah.
b. Baik dan
buruk itu berdasarkan akal.
c. Orang yang
berdosa besar akan kekal dalam neraka
d. Perbuatan
manusia itu usaha bebas sendiri.
e. Allah tidak
bisa dilihat walaupun di Akhirat kelak.
f.
Surga dan neraka tidak kekal.
g. Alam semesta
itu qadim.
XII. Aliran
Shifatiyyah
Aliran Shifatiyyah adalah faham yang menerima
adanya sifat-sifat Allah yang dikhabarkan dalam nash Al-Qur’an dan Hadits
(sifat khabariyah). Aliran ini bertentangan dengan faham Mu’tazilah yang
menolak memberikan sifat khabariah bagi Allah. Aliran Shifatiyyah dibagi
menjadi empat sekte, yaitu :
1. Musyabbihah
/ Mujasimah (Anthropomorpisme), yaitu memegangi sifat khabariyah tentang
tasybih dan tajsim berdasarkan makna literalnya. Syiah Bayaniah, pengikut Bayan
bin Sam’an menyatakan bahwa Tuhan tercipta dari cahaya yang berbentuk tubuh
sebagaimana manusia dan semuanya akan hancur terkecuali ‘wajah’ nya saja. Syiah
Mughiyitah pimpinan Al-Mughirah bin Said mengatakan Tuhan itu laki-laki,
berjisim (bertubuh) dari cahaya, diatas kepalanya ada mahkota yang juga dari
cahaya, memiliki jantung yang memancarkan ilmu-ilmu hikmah
2. Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah.
a. Asy’ariyah,
pengikut Imam Abu Hasan Al-Asy’ari.
b. Maturidiyah,
pengikut Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Imam Muhammad As Zabidi dalam kitab Ittikaf Sadatul
Muttaqin, Juz II halaman 6 menyatakan :
“Bila dinyatakan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, maka maksudnya adalah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah ”
3. Aliran Khalaf (mutakallimin), yaitu
sebagian ulama setelah abad ke-3 Hijriah yang menta’wilkan ayat-ayat tasybih
dan tajsim yang ada qarinah itu lafazh majazi yang masih memungkinkan untuk di
ta’wilkan dari makna hakikatnya, guna menghindari penyerupaan Allah dengan
makhluknya.
Contohnya :
a. “Sesungguhnya orang-orang yang
berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berjanji setia kepada
Allah, tangan Allah diatas tangan mereka.” (QS Al-Fath : 10)
Ulama khalaf menafsirkan kata “tangan
Allah” dengan kekuatan, kekuasaan dan keridloan Allah.
b. “Dan buatlah perahu dengan mata Kami
dan wahyu kami.” (QS Hud : 37).
Kata “mata Kami” ditafsirkan dengan
pengawasan Kami.
c. “Tuhan yang Rahman bersemayam
diatas Arsy.” (Q Thaha : 5)
Kata “bersemayam” ditafsirkan dengan
berkuasa.
d. “Dan datanglah Tuhanmu, sedang
para Malaikat berbaris-baris” (QS Al Fajr : 22).
Kata “datang Tuhanmu” ditafsirkan
datang perintah Tuhanmu.
e. “Aduhai, sesalanku atas kelalaianku
dalam mengurus sisi rusuk Tuhanku.” (QS Az Zumar : 56)
Kata “sisi rusuk Tuhanku” ditafsirkan
dengan menunaikan kewajiban tuhan.
f. “Segala yang didunia akan
lenyap binasa, dan yang akan kekal hanyalah wajah Tuhanmu.” (QS Ar Rahman : 26)
Kata “wajah” ditafsirkan dengan dzat
Tuhan.
g. “Dan Dia (Allah) bersama kamu dimana
saja kamu berada.” (QS AL-Hadid : 4)
Kata “bersama kamu” ditafsirkan dengan
melihat, mengetahui, mendengar dan memantau
h. “Adakah kamu merasa ama terhadap
(Tuhan) yang dilangit itu, bahwa kamu akan ditenggelamkan kedalam bumi, yang
ketika itu berguncang keras ?” (QS Al Mulk : 16)
Kata “di langit” ditafsirkan
diketinggian (kemulyaan) dzatNya dan langit kekuasaannya.
i. Hadits Riwayat Bukhari :
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
bersabda : “Tuhan kita, tiap-tiap malam turun kelangit dunia pada ketika
tinggal sepertiga malam yang terakhir, lalu Dia berkata : ‘Siapakah yang akan
berdo’a maka Aku kabulkan, siapakah yang meminta maka akan Aku beri, siapakah
yang mohon ampunan, maka Aku ampuni.”
Kata “turun” ditafsirkan dilimpahkan
Rahmat Allah.
j.
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim :
“Kepada neraka jahanam selalu
dilemparkan sesuatu, dan ia selalu bertanya : ‘Adakah tambahannya ?’ sampai
tuhan meletakkan tumit-Nya dalam neraka jahanam itu, sehingga berhimpit isi
neraka itu yang satu dengan yang lainnya, lalu jahanam berkata : ‘Cukuplah,
cukup’.”
Kata ‘qadamahu” tidak ditafsirkan
“tumit Allah” tapi semua orang-orang penghuni neraka.
k. Hadits
riwayat Muslim :
“Bahwasanya hati anak Adam seluruhnya
terletak diantara dua anak jari Tuhan yang Rahman.”
Kata “diantara anak jari” ditafsirkan
anatara sifat Qudrat dan Iradat Allah.
l.
Hadits riwayat Muslim:
“Tuhan menjadikan Adam atas rupa
(citra) Nya.”
Kata rupa ditafsirkan dengan kehendak
Nya.
m. Hadits riwayat Bukhari
dan Muslim
“Barangsiapa bersedekah setimbang kurma
hasil pencarian yang halal niscaya Tuhan menerima sedekah itu dengan tangan
kanan-Nya.”
Kata “tangan kanan-Nya” ditafsirkan
dengan keridloan-Nya.
4. Aliran
Salaf, yaitu mengimani semua nash Al-Qur’an dan Hadits yang mengandung
tasybih, tajsim dan sifat khabariyah Allah tetapi tanpa mau membahas mendetail
dan tidak mau memberikan ta’wilnya. Ulama-ulama yang beraliran seperti ini
antara lain : Imam Malik bin Anas, Muqatil bin Sulaiman, Sufyan Tsauri, Dawud
bin Ali Al-Ashafani, Harits bin Asad Al Muhasibi. Diantara perkataan aliran
salaf :
“Kami beriman dengan segala apa yang
diberitakan didalam Kitab dan Sunnah, dan kami tidak mencoba menafsirkannya,
mengetahui dengan yakin bahwa Allah tidak seupa dengan makhluk apa pun dan
bahwa semua pencitraan yang kami katakan mengenai Dia, berdasarkan yang
diciptakan sendiri oleh-Nya dan berasal dari diri-Nya.”
XIII. Aliran Ahlussunnah
wal Jama’ah
A. Asy’ariyah
Aliran ini disandarkan kepada perumusnya yaitu Imam
Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324 H). Mula-mula beliau berguru kepada tokoh
Mu’tazilah bernama Abu Ali Al Jubai yang juga merupakan bapak tirinya. Beliau
pun juga dikenal sebagai penganut faham Mu’tazilah yang utama. Imam Abu Hasan
Al-Asy’ari juga sering diminta menggantikan mengajar di majelis pengajian
gurunya Al-jubai. Namun seiring perjalanan waktu, dikemudian hari beliau merasa
ketidakcocokan dengan aliran Mu’tazilah. Hal itu mencapai puncaknya setelah
terjadi diskusi-perdebatan antara Imam Asy’ari dengan gurunya Al-Jubai ;
Asy’ari : Bagaimana menurut
pendapat anda tentang tiga orang yang meninggal dalam keadaan berlainan :
mukmin, kafir dan anak kecil.
Al Jubai : Orang mukmin masuk
surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil selamat dari neraka.
Asy’ari :
Apabila anak kecil itu ingin masuk surga, apakah mungkin ?
Al Jubai : Tidak mungkin,
bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai dengan taat kepada
Allah, sedangkan engkau (anak kecil) belum beramal seperti itu.
Asy’ari : Seandainya anak
kecil itu berkata : memang aku belum beramal. Seandainya aku dihidupkan sampai
dewasa, tentu aku akan beramal seperti amalnya orang mukmin.
Al Jubai : Allah akan menjawab :
Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur dewasa niscaya engkau
bermaksiat dan engkau akan masuk neraka. Karena itu Aku sengaja mematikanmu
sebelum engkau dewasa.
Asy’ari : Seandainya orang kafir
itu bertanya kepada Allah : Engkau telah mengetahui keadaanku sebagaimana
mengetahui keadaan si anak kecil, mengapa Engkau tidak menjaga kemaslahatanku
dan mematikan aku selagi masih kecil ?
(maka Al Jubai terdiam, tidak mampu
menjawab)
Beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran
Mu’tazilah dan faham ahli fiqih-Hadits. Ketika mencapai umur 40 tahun, Imam Abu
Hasan Al-Asy’ari mengurung diri dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal
tersebut. Pada hari jum’at, dia naik mimbar Masjid Basrah, menyatakan secara
resmi keluar dari aliran Mu’tazilah dengan berpidato :
“Wahai sekalian manusia, barang siapa
mengenalku sungguh dia telah mengenalku. Barangsiapa belum mengenalku, maka aku
mengenalnya sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk; bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata;
bahwa perbuatan-perbuatan jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat
dan menolak faham-faham Mu’tazilah dan keluar daripadanya.”
Imam Abu Hasan Al Asy’ari setelah keluar dari
Mu’tazilah beliau merumuskan ajaran-ajarannya kembali berdasarkan manhaj
salafus saleh, beliau mengikuti pendapat imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin
Hanbal. Beliau merumuskan ajarannya berada ditengah-tengah antara kaum
Mu’tazilah yang rasionalis-liberalis dengan kaum Anthropomorpis-literalis.
Beliau kembali ke manhaj salaf dengan mendasarkan kepada nash Al-Qur’an dan
Hadits, tetapi menerangkannya dengan menggunakan metode scholastis yang
rasional sebatas memperkuat dan menjelaskan pemahaman nash. Ternyata perumusan
ajaran-ajaran beliau diterima oleh mayoritas umat Islam.
Imam Abu Hasan Asy’ari pernah
mengatakan :
“Sesungguhnya banyak pengikut aliran
Mu’tazilah dan Qadariyah yang menuruti hawa nafsu mereka untuk bertaqlid pada
pimpinan-pimpinan mereka dan orang-orang yang mendahului mereka, sehingga
mereka mentakwilkan Al-Qur’an menurut pendapat mereka sendiri, degan suatu
ta’wilan dimana Allah tidak menurunkan padanya suatu kekuasaan dan tidak
menjelaskan padanya suatu bukti dan merekapun tidak menukilkan dari Rasul,
begitu pula tidak dari orang-orang salaf terdahulu.”
Seorang Ulama dan peneliti asal Mesir,
Dr. Muhammad Abu Zahrah menuliskan metodologi dan pemikiran Imam Hasan Asy’ari
sebagai berikut :
1. Menempatkan
Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber inspirasi akidah dan sebagai bahan
argumentasi atas segala macam bantahan yang datang. Maka dapat diartikan, bahwa
AL-Qur’an maupun Hadits sebagai dasar metodologi berhujjah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah (Asy’ariyah).
2. Meletakkan
tekstual nash (Dhawahur An Nushus) yang masih mungkin membutuhkan interpretasi
dan masuk dalam kategori tasybih, tanpa harus dipaksakan masuk dalam tasybih
secara murni. Dalam hal ini mempunyai dampak atau konsekuensi logis, bahwa ia
tidak bisa lepas dari sebuah pemahaman kalau Allah mempunyai wajah, akan tetapi
sangat berbeda dengan wajah semua mahkluk-Nya. Demikian pula mempunyai tangan
yang tidak sama dengan tangan makhluk-nya.
3.
Memperbolehkan berhujjah dalam hal akidah, meskipun bersumber dari
hadits-hadits ahad. Sebagai bukti, bahwa sebenarnya hadits ahad pun sah-sah
saja sebagai pedoman. Secara tegas ia menjelaskan, betapa banyak hadits-hadits
ahad yang dijadikan rujuan akidah (tentunya hadits ahad yang sahih).
Imam Abu Hasan Asy’ari telah menulis
sekitar 300 judul kitab dalam berbagai bidang ilmu. Diantara kitabnya yang
terkenal adalah Al Ibanah ‘An Ushul Ad Dinayah, sebuah kitab besar tentang Ushuludin,
akidah Ahlus Sunnah wal Jama’a, Maqalatul Islamiyyin danAl-Luma’. . Orang-orang
yang mengaku pengikut Imam Ahmad bin Hanbal (kaum Hanbaliyin) yang juga kadang
disebut kaum salaf tetap mencurigai beliau, karena beliau sebelumnya dikenal
sebagai penganut Mu’tazilah disamping karena Imam Asy’ari menggunakan metode
scholastik yang dianggap masih berbau Mu’tazilah dan bermazhab Syafi’i.
Akibatnya orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin menentangnya dan mengkafirkannya
bahkan menghalalkan darah orang-orang yang mendukung ajarannya.
Penentangan orang-orang
Hanbaliyin-Salafiyin terhadap faham Asy’ariyah, bisa diruntut sebagai berikut :
a. Sepeninggal
Khalifah Al-Watsiq, tampuk kekuasaan ada ditangan Khalifah Al-Mutawakkil
(205-247 H). Khalifah Al-Mutawakkil tidak mendukung faham Mu’tazilah, beliau
kembali melarang ajaran tentang kemakhlukan Al-Qur’an bahkan beliau melakukan
pembersihan terhadap ulama-ulama Mu’tazilah yang dulu mempropagandakan bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk. Beliau sangat menghoramati dan mendukung
ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal.
b. Sejak masa
pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil, banyak menteri yang diangkat dari kalangan
Hanbaliyin, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Jadi lingkungan istana didominasi
oleh ulama-ulama Hanbaliyin.
c. Ajaran-ajaran
Imam Abu Hasan Asy’ari yang eks Mu’tazilah dan bermazhab Syafi’i yang
merumuskan kembali manhaj salafus-saleh berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadits
tetapi dengan metode scholastik, kenyataannya menarik perhatian dan diterima
oleh banyak orang. Hal ini tidak disukai dan dicurigai oleh kaum
Hanbaliyin-Salafiyin yang merasa lebih “salaf” dari dulunya. Popularitas ajaran
Asy’ariyah yang bermazhab Syafi’iyah dikhawatirkan mengurangi pengaruh kaum
Hanbaliyin-Salafiyin dilingkungan istana Khalifah.
d. Salah
seorang menteri pada masa Khalifah Al-Qaim Biamrillah (391-467 H) yang bernama
‘Amid al Mulk sampai-sampai mengeluarkan praturan-peraturan yang
mendiskreditkan orang-orang penganut Asy’ariyah.
Disatu pihak orang-orang
Hanbaliyin-Salafiyin yang menentang ajaran Asy’ariyah, di pihak lain banyak
ulama-ulama besar Syafiiyah yang mendukung ajaran-ajaran Imam Abu Hasan
Asy’ari, diantaranya :
1. Abu Bakar
bin Tayyib Al Baqillany (wafat 403 H). Beliau lahir dikota Basrah. Kitab
karangannya yang terkenal adalah At Tahmid, artinya pendahuluan, Kitab At
Tahmid ini perlu dipelajari sebelum seseorang memasuki Ilmu Kalam, berisi
antara lain tentang atom (jauhar fard), sifat (‘ardl) dan cara pembuktian.
2. Abu Ma’aly
bin Abdillah Al Juwainy (419-478 H), lahir di Nisabur kemudian berpindah ke
Baghdad, Beliau mengikuti ajaran Imam Asy’ari dan Al Baqillany. Imam Al juwainy
sempat menjadi sasaran amarah orang-orang Hanbaliyin-Salafiyin karena mengikuti
ajaran Asy’ariyah yang dianggap terlalu memberi porsi kepada akal. Karena
peristiwa itu, terpaksa beliau meninggalkan Baghdad dan bermukim di Mekkah dan
Madinah untuk memberi pelajaran. Karena itu beliau digelari “Imam Haramain”
(imam dua tanah suci). Beliau mengarang beberapa kitab, diantaranya kitab
“Qowaidlu ‘Aqaidu Ahli Sunnah wal Jama’ah” yaitu Prinsip-Prinsip Akidah Ahlus
Sunnah wal Jamaah berdasarkan perumusan Imam Abu Hasan Asy’ari. Dari sinilah
selanjutnya aliran Asy’ariyah menjadi populer, diterima oleh mayoritas umat
Islam dan disebut dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah sampai sekarang.
3. Imam
Syarastani (479-574 H) lahir di Khurasan, pengarang kitab Al Milal wa An Nihal
kitab terbaik tentang firqoh-firqoh dalam theologi Islam yang sangat terkenal.
4. Imam
Abu Hamid Al Ghazali (450-505 H), murid Imam Al-Juwainy. Menguasai hampir semua
ilmu keislaman temasuk filsafat, digelari “Hujjatul Islam” pengarang kitab
“IHYA ULUMIDDIN” yang sangat terkenal. Kitab Ihya’ ini berisi uraian yang
panjang lebar tentang fiqih, akhlak dan penyucian jiwa (tasawuf) tanpa memasuki
area ittihad dan hulul. Kitab Ihya’ ini berhasil mengkompromikan dan meredam
polemik perselisihan antara ahli tasawuf dan ahli syariat.
5. Imam
Fahruddin Ar Razi (lahir 543 H) di Persia. Banyak menulis kitab-kitab tentang
ilmu kalam, Fiqih, Tafsir dan lain-lain.
6. Imam As
Sanusi (833-895 H), lahir di Tilimsan Aljazair. Mengarang kitab “Aqidah Ahli
Tauhid” tentang pandangan tauhid Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan kitab “Ummul
Barahin” berisi sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan RasulNya,
isinya praktis sangat populer di pesantren-pesantren di Indonesia.
B. Maturidiyah
Aliran ini disandarkan kepada perumusnya yaitu Imam
Abu Manshur Al-Maturidy (wafat 333 H). Lahir di kota Maturid Samarkand. Hidup
hampir sejaman dengan Imam Abu Hasan Asy’ari, hanya saja kota tempat tinggalnya
berbeda. Imam Maturidy bermazhab Hanafy, maka tidak heran kebanyakan
pengikutnya adalah orang-orang pengikut mazhab Abu Hanifah, sedangkan Imam
Asy’ari bermazhab Syafi’i. Secara umum pemikiran dan ajarannya tidak jauh
berbeda dengan Imam Abu Hasan Asy’ari. Banyak segi persamaannya, hanya sekitar
10 masalah saja yang berbeda, antara lain : masalah takdir. Asy’ari lebih dekat
kepada Jabariyah, sedangkan Maturidy lebih dekat kepada Qadariyah. Persamaannya
keduanya sama-sama menentang Mu’tazilah dan membela faham salafus saleh
berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadits.
Perbedaan lain, Asy’ari berpendapat bahwa ma’rifat
kepada Allah berdasarkan tuntutan syara’, sedangkan Maturidy berpendapat hal
itu diwajibkan oleh akal. Menurut Asy’ari sesuatu itu baik atau buruk menurut
syara’, sedangkan menurut Maturidy sesuatu itu sendiri mempunyai sifat baik dan
buruk.
Al Maturidy menaruh porsi akal lebih banyak dalam
hal ma’rifat kepada Allah dan penentuan apakah sesuatu itu baik dan buruk.
Tetapi juga disadari bahwa akal semata-mata belum cukup untuk mengetahui
hukum-hukum ta’kifiah. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Berbeda
halnya dengan Asy’ari yang kitab-kitab karangannya mudah didapatkan sampai
sekarang, seperti Maqalatul Islamiyyin, Al Ibanah dan Al Luma’, maka kita
kesulitan mendapatkan kitab Maturidiyah. Yang jelas beliau bermazhab Hanafi.
Pandangan-pandangan tauhidnya berasal dari pendapat Imam Abu Hanifah.
Jadi Asy’ariyah dan Maturidiyah, keduanya sama-sama
kembali ke manhaj Salafus Saleh, (mengikuti faham Imam Malik dan Imam Ahmad bin
Hanbal) mendasarkan pada nash Al-Qur’an dan Hadits, beriman kepada semua
ayat-ayat mutasyabih dan sifat khabariyah tanpa terlalu jauh menta’wilkannya.
Keduanya sama-sama menentang aliran Mu’tazilah yang ultra rasionalis-liberalis
dan keduanya juga menentang aliran Musyabbihah-Mujasimah yang ultra
tekstualis-literalis sehingga jatuh pada anthropomorpisme (menyerupakan Allah
dengan keadaan makhluk, seperti mempunyai anggota tubuh (jism), duduk, datang,
melempar dsb).
XIV. Aliran
Salaf (Hanbaliyah)
Kalau yang dimaksud aliran salaf dalam masalah
akidah dan theologi adalah mengikuti manhaj salafus saleh (faham Imam Malik,
Ahmad bin Hanbal), maka sebenarnya aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Ays’ariyah
dan Maturidiyah) juga mengikuti manhaj salaf tersebut. Maka bisa dikatakan
dalam theologi : aliran Salafiyah-Asy’ariyah dan Salafiyah-Maturidiyah.
Namun pada kenyataannya, karena sebagian
orang-orang penganut mazhab fiqih Hanbali masih mencurigai aliran Asy’ariyah
(bermazhab Syafi’i dalam fiqih) dan Maturidiyah (bermazhab Hanafi dalam fiqih)
mereka tetap menentang kedua aliran tersebut. Jadi yang dimaksud aliran salaf
dalam pembahasan sekarang ini adalah aliran salaf pengikut mazhab Hanbali dalam
fikih atau aliran Salafiyah-Hanbaliyah.
Istilah aliran Salaf, sering dinisbatkan kepada
para pengikut Ibnu Taimiyah (661-728 H) yang juga bermazhab Hanbali dalam
fiqih. Disamping itu dimasa sekarang ini telah marak gerakan (harokah) dakwah
yang menamakan diri “SALAFI” sehingga seakan-akan aliran Salafi ini aliran
tersendiri yang berbeda dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, padahal kalau
dalam theologi sebenarnya alirannya sama dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah
(Asy’ariyah / Maturudiyah). Selanjutnya yang dimaksud istilah aliran / kaum
salaf dalam pembahasan disini adalah kaum Salafi Hanbaliyah.
Aliran salaf ini mengalami
perkembangan, pergeseran dan metamorfosa dalam 9 periode waktu yang
diwakili oleh pemikiran tokoh-tokoh utamanya pada masing-masing periode, yaitu
:
1. Periode
Generasi Sahabat Nabi.
Pada periode ini belum muncul yang
namanya “Aliran Salaf” karena secara umum tiga generasi awal ini memiliki
manhaj dan karakteristik yang masih “original” sesuai dengan masa kenabian,
terutama dalam bidang akidah dan teologi (ilmu kalam).
2. Periode Imam
Malik Bin Anas (91 H – 167 H)
Pada periode ini mulai muncul
orang-orang yang menanyakan tentang ayat Al-Qur’an yang tasybih, yaitu
perbuatan Allah yang mirip dengan perbuatan mahkluk.
Suatu hari ada orang yang menanyakan
kepada Imam Malik : “Bagaimana Allah ber-Istiwa’ (bersemayam) diatas Arsy ?”
Imam Malik menjawab : “maksud
istiwa’(bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya kita
tidak mengetahuinya. Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakan bagaimana
caranya adalah bid’ah”.
Sikap Imam Malik yang mengimani
ayat-ayat mutasyabih tanpa mau menakwilkannya itulah ciri “Aliran Salaf” pada
saat itu.
3. Periode Imam
Ahmad bin Hanbal ( 164 H – 261 H)
Beliau salah satu darin empat imam
mazhab fiqih yang muktabar (terkenal dan diakui). Ciri fiqihnya adalah
mengutamakan hadits dan atsar daripada dengan qiyas. Imam Ahmad bin Hanbal
lebih suka ber hujjah dengan hadits dhaif dari pada berijtihad dengan qiyas
atau ihtihsan.
Pada masa itu Aliran Muktazilah sedang
mencapai puncak kejayaannya, karena didukung penuh oleh Khalifah Al-Ma’mun dari
Bani Abbas. Aliran Muktazilah yang didukung penguasa mengkampanyekan pemikiran
bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.
Semua ulama dan rakyat dipaksa
mengikuti pemikiran tersebut, semuanya tidak ada yang berani menentang kecuali
Imam Ahmad bin Hanbal, yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah kalamullah”
4. Periode Imam
Ibnu Hazm Al-Andalusi (384 H-456)
Beliau seorang ulama kelahiran Cordova
Andalusia, mula-mula ber mazhab Maliki, kemudian berpindah ber mazhab Syafi’ii
kemudian berpindah lagi ke mazhab zahiri, yaitu berpegang pada makna zahir ayat
(literalis).
Pada periode sebelumnya muncul teologi
Imam Abu Hasan Asy’ari (260 H-330 H), yang pada mulanya seorang pengikut
Mu’tazilah yang kemudian menyatakan keluar dari Aliran Muktazilah.
Imam Abu Hasan Asy’ari (ber mazhab
Syafi’i dalam fikih) merumuskan teologi yang ber pihak kepada pemikiran ulama
salaf sebelumnya yaitu (Imam Malik dan Imam Hanbali) tapi dengan metode
pembahasan yang menggunakan metode scholastik, ilmu mantiq (logika) kaum
Mu’tazilah.
Imam Ibnu Hazm telah mempelajari
filsafat Yunani, filsafat Islam, teologi muktazilah, teologi Hanbaliyah dan
teologi Asy’ariyah. Imam Ibnu Hazm merumuskan teologi Hanbali-Literalis, yang
lebih memegangi makna literalis nash dan tidak membolehkan memberi sifat kepada
Allah.
Menurutnya Allah Maha Melihat, Maha
Mendengar, dsb itu adalah “asma” bukan “sifat” karena memberi sifat kepada Allah
dianggap menyerupakan Allah dengan makhluk. Ibnu Hazm mengakui mu’jizat yang
ada pada diri Nabi dan Rasul, namun beliau menolak adanya karomah pada diri
Wali atau orang-orang saleh.
Sikap Literalis-Hanbalis inilah yang
menjadi ciri “Aliran salaf” pada periode Imam Ibnu Hazm.
5. Periode Kaum
Hanbaliyin (469 H)
Teologi Asy’ariyah yang telah disebut sebelumnya,
walaupun berpihak kepada Aliran Salaf tetapi masih tetap dicurigai dan tidak
diterima oleh “ahlul hadits/ahlul atsar” dan orang-orang yang mengaku mengikuti
teologi Imam Ahmad bin Hanbal
Dengan alasan teologi Asy’ariyah
memberikan porsi yang besar kepada “akal” disamping itu krn Imam Asy’ari ber
mazhab Syafi’i. Tampaknya pada masa itu fanatisme mazhab telah menjalar ke
tubuh umat Islam.
Sejak masa pemerintahan Khalifah
Al-Mutawakkil (205-247 H), banyak menteri yang diangkat dari kalangan
Hanbaliyin, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Jadi lingkungan istana didominasi
oleh ulama-ulama Hanbaliyin.
Keadaan seperti itu berlangsung terus
sampai pada masa pemerintahan Khalifah Al-Qaim Biamrillah (391-467 H). Salah
seorang menterinya yang bernama ‘Amid al Mulk sampai-sampai mengeluarkan
praturan-peraturan yang mendiskreditkan orang-orang penganut Asy’ariyah.
Setelah masa Khalifah Al-Mutawakkil,
pengaruh orang-orang Turki mulai besar pada pemerintahan dan militer. Banyak
orang Turki yang menduduki kursi menteri dan komandan tentara. Orang-orang
turki sangat setia kepada pemimpin kaum mereka. Demikian besarnya Kekuasaan
mereka, hingga mereka bisa dengan sesuka hati menunjuk dan mencopot Khalifah.
Jadi mereka mengakui Khalifah sebagai Amirul Mukminin sekedar dijadikan simbol
dan icon, kekuasaan secara militer yang sebenarnya ada ditangan para Sultan.
Pada masa pemerintahan Khalifah Al Qaim
Billah yang menjadi Sultan adalah Alp Arselan (wafat 465 H) dari Turki Seljuk,
beliau mempunyai seorang wazir (perdana menteri) yang sangat cakap bernama
Nizamul Mulk (wafat 485 H).
Perdana Menteri Nizamul Mulk dengan
dukungan Sultan Alp Arselan mendirikan Universitas NIZAMIYAH, pusat ilmu dan
study Islam pada jaman itu. Yang menjadi pemimpin (rektor) Universitas
Nizamiyah adalah ulama besar Imam Al Juwainy, penganut Asy’ariyah dan bermazhab
Syafi’i. Nizamul Mulk dengan Universitas Nizamiyahnya menjadikan Theologi Asy’ariyah
sebagai theologi resmi dan menjadikan ajaran Asy’ariyah satu-satunya theologi
yang diajarkan. Kebijaksanaan Pedana Menteri Nizamul Mulk yang lain adalah
menghapuskan semua peraturan-peraturan yang mendiskreditkan orang-orang
Asy’ariyah yang pernah diberlakukan oleh menteri ‘Amid al Mulk.
Kebijaksanaan itu tentu saja tidak
disukai oleh orang-orang Salafiah-Hanbaliyah. Pada tahun 469 H datang ke
Universitas Nizamiyah seorang ulama bernama Abu Nashr bin Abu Qasim Al Qusyairi
memberikan pengajian umum yang memberi penjelasan yang mendetail mengenai
theologi Asy’ariah.
Hal itu menjadi pemicu kemarahan
orang-orang Hanbaliyah, maka pada tahun 469 H terjadilah huru-hara dan keonaran
besar di kota Baghdad, yang berupa tindakan anarkis orang-orang Hanbaliyin
terhadap para pendukung teologi Asy’ariyah khususnya dan para penganut mazhab
Imam Syafi’i pada umumnya.
Kaum Hanbaliyah merusak kedai yang
dijumpai menjual khamr, mematahkan papan catur, menyerang rumah tokoh-tokoh
Syafi’iyah dan perbuatan anarkis lainnya, tercatat sampai menimbulkan korban
jiwa yang tentu saja dilawan oleh para pengikut Asy’ariyah-Syafi’iyah.
Peristiwa huru-hara Kaum Hanbaliyyin di Kota Baghdad ini sangat terkenal dalam
sejarah.
Tindakan keras dan agresif kaum
Salafiah-Hanbaliyah inilah yang menjadi ciri “Aliran Salaf” pada abad IV
Hijriah.
6. Periode Ibnu
Taimiyah (661 H – 728 H)
Seorang ulama besar abad 7 H, nama
lengkapnya Ahmad Taqiyuddin bin Syihabuddin Ibnu Taimiyah. Kelahiran Haran
Palestina, bermazhab Hanbali dalam fikih, menguasai hampir semua ilmu ke
Islaman dan banyak mengarang kitab dalam berbagai bidang ilmu.
Beliau mengkritik gejala taqlid dan
kemunduran ijtihad yang berjangkit pada umat, menyerukan agar umat kembali
meneladani manhaj dan perilaku para generasi salafus-saleh. Beliau juga
mengkritik pengaruh filasat Yunani, dalam pemikiran Islam, filsafat Persia
dalam konsep Imamah Syiah, penakwilan ayat-ayat mutasyabih berdasarkan
akal, dan filsafat India dalam Tasawuf (ittihad, hulul).
Kritik dan Fatwa Ibnu Taimiyah yang
keras, tajam dan vulgar tentunya membuat merah telinga ulama-ulama bahkan yang
sama-sama ber mazhab Hanbali dan pihak lain yang tidak sependapat dengan
fatwanya, termasuk para penguasa. Apalagi penguasa Bani Buwaihi dikenal
mendukung tarekat-tarekat Tasawuf. Jadi banyak pihak yang tersinggung dan
tidak senang dengan ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah yang disampaikan secara terbuka
pada majelis-majelis pengajiannya.
.Dalam buku Rihlah Ibnu Batutah
(catatan perjalanan Ibnu Batutah), salah satu sumber sejarah yang sangat
terkenal dan telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, Inggris, Perancis dan
Jerman, Ibnu Batutah telah melakukan perjalanan pengembaraan selama 29 tahun
kebanyak negeri-negeri mulai dari Mesir, Syria, Palestina, Hijaz (Arab Saudi),
Irak, Persia, Turki, Bukhara, Afghanistan, India, Bangladesh, Cina, Sumatera,
Indonesia dan terus ke Afrika.
Catatan perjalanannya oleh sebagian
besar ahli sejarah, dianggap cukup teliti dan dijadikan salah satu “sumber
sejarah”. Dalam catatan perjalanan Ibnu Batutah diterangkan bahwa dia
singgah di Damaskus Syiria dan kebetulan mendengarkan Ibnu Taimiyah memberikan
pengajian di mimbar Masjid Umayyah, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Tuhan Allah
itu duduk diatas Arsy dan dudukNya itu serupa dengan duduknya Ibnu Taimiyah
diatas mimbar. Tuhan Allah itu turun tiap-tiap akhir malam kelangit dunia dan
turunnya itu sepeti turunnya Ibnu Taimiyah dari atas mimbar ke bawah.
Mendengar uraian itu, pendengar jama’ah
pengajian menjadi ribut, kacau balau, sehingga ada yang melempari Ibnu Taimiyah
dengan sandalnya. Akhirnya perkataan Ibnu Taimiyah sampai kepada penguasa. Ibnu
Batutah memberi komentar bahwa Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama besar tetapi
“fi aqlihi syaiun” (pikirannya guncang), demikian keterangan Ibnu Batutah.
Namun keterangan tersebut masih perlu
diteliti lagi, bisa jadi ada kesalah pahaman dalam menafsirkan ajaran Ibnu
Taimiyah atau bisa jadi peristiwa kekacauan Majelis pengajian beliau sudah
direkayasa lawan-lawan nya untuk memfitnahnya.
Ajaran dan fatwa-fatwanya yang dianggap
terlalu keras, tidak sopan dan melawan arus menyebabkan banyak ulama dan
penguasa Bani Buwaihi tersinggung dan tidak suka kepada beliau, disamping itu
ajaran theologinya dianggap cenderung kepada “anthropomorpist” akhirnya
menyebabkan beliau ditangkap oleh pihak penguasa dan keluar masuk penjara,
bahkan beliau meninggal dalam penjara. Pemakamannya diiringi oleh ratusan ribu
orang yang menaruh simpati kepada beliau.
Jadi seruan kembali kepada manhaj
salafus-saleh, kritik yang keras kepada taqlid dan kemandekan ijtihad,
penyimpangan akidah (ziarah dan berdoa di kuburan orang suci), superioritas
akal dalam pemahaman agama, konsep imamah kaum Syiah dan penyimpangan
ajaran ittihad, hulul dalam tasawuf itulah ciri khas ajaran Ibnu Taimiyah.
7. Periode
Muhammad bin Abdul Wahab (1115 H –1206 H)
Terkenal dengan gerakan Wahabi, yang
didukung oleh Pangeran Muhammad bin Saud seorang war lord (kepala suku, komandan
lapangan). Duet serasi ulama-penguasa ini mengantarkan keduanya menduduki tahta
kerajaan Arab Saudi.
Muhammad bin Abdul Wahab dikenal
sebagai ulama bermazhab Hanbali dan seorang penganut dan pendukung fanatik
pemikiran Ibnu Taimiyah. Setelah berkuasa, mazhab Wahabi ini dijadikan mazhab
resmi pemerintah kerajaan Arab Saudi sampai sekarang. Gerakan wahabi berciri
khas pada pemurnian akidah, tauhid dan menempuh kekerasan.
Dari semua periode-periode yang telah
diuraikan diatas sampai pada periode Muhammad bin Abdul Wahab dan gerakan
Wahabinya, kaum Salafiyin-Hanbaliyin kalau dapat dikatakan “berbeda” dan hanya
keras dalam masalah akidah dan theologi saja, tidak sampai pada masalah
fikih-amaliah, apalagi sampai pada masalah furu’iyah (cabang) yang khilafiah.
8. Periode
Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Beliau seorang ulama ahli hadits abad
20 M, sangat dihormati di Kerajaan Arab Saudi. Beliau menyerukan agar umat
mempelajari Al-Qur’an dan Hadits serta mencela kebiasaan taqlid, yaitu hanya
mengikuti saja pendapat seorang imam tanpa mengetahui dalil dan argumennya.
Sepeninggal beliau timbul fenomena
baru, yaitu ketika para pengikutnya mengikuti semua perkataan Syeikh Albani,
sehingga yang terjadi bukannya bebas mazhab melainkan menjadikan beliau sebagai
mazhab kelima disamping empat mazhab fikih yang sudah ada.
Fanatik pada ahli hadits inilah yang
menjadi ciri “Aliran Salaf” periode Syeikh Albani.
9. Periode
Salafi Kotemporer
Pada masa kotemporer sekarang ini
muncullah kelompok yang menamakan diri “salafi”. Kelompok inilah yang mewarisi
dan meneruskan “Aliran Salaf” seperti yang telah diuraikan sebelumnya, tentunya
dengan karakteristik yang sedikit banyak juga mewarisi “Aliran salaf”
periode-periode sebelumnya dengan beberapa fenomena baru pula.
Salafi kotemporer tidak mempunyai
institusi formal, sebab mereka lebih bersifat aliran pemikiran umum (aliran
theologi sekaligus mazhab fiqih). Kadang terdiri atas beberapa kelompok yang
masing-masing mengaku sebagai salafiyin, diantaranya :
a
Jama’ah Anshar As Sunnah di Mesir dan Sudan.
b
Jam’iyyah Ihya’ At-Turats (menghidupkan Qur’an & Hadits) di Kuwait.
Tapi ada juga yang tidak berupa
organisasi, melainkan pengikut tokoh ulama salafiyin tertentu, seperti :
a. Salafiyun
Albaniyun, seperti telah disebut sebelumnya diatas (periode 8), yaitu para
pengikut Syeikh Albani.
b. Salafiyah
Politik, adalah salafiyin yang terpengaruh pemikiran Ihwanul Muslimin dalam
mengkritisi pemerintahan yang dianggap kurang berpihak pada ajaran Islam.
Kelompok ini menentang kebijaksanaan
Kerajaan Arab Saudi menempatkan tentara Amerika di Dahran, mengkritik dukungan
Kerajaan Arab Saudi kepada Sekutu pada perang Teluk II.
Tokoh-tokohnya diantaranya : Dr. Aidh
Al Qarni, Salman Audah, Safat Al Hawali, mereka pernah ditangkap dan dipenjara
oleh penguasa Kerajaan Arab Saudi.
Dr. Aidh Al Qarni setelah dibebaskan
dari penjara, lebih banyak menulis buku tentang “personality empowerment”.
Bukunya yang sedang Best Seller adalah “ La Tahzan”.
c. Salafiyun
Al-Jamiyun (Salafi beringas)
Tokohnya adalah Syeikh Rabi’
Al-Madkhali, kelompok ini tidak punya kreasi lain kecuali menyalahkan dan
menyerang orang lain, termasuk ulama ulama yang tidak sehaluan dengan mereka.
Tidak ada figur yang selamat dari
serangan kelompok ini, baik ulama klasik maupun modern. Termasuk Imam Ghazali,
Imam Nawawi dan Ibnu Hajar Atsqolani hanya karena mereka penganut teologi
asy’ariah.
Ulama kotemporer pun tidak
segan-segan diserang, seperti : Hasan Al Bana, Syeikh Muhammad Al-Ghazali, DR.
Yusuf Qaradhawi, Muhammad ‘Imarah, Fahmi Huwaidi, Ali Athj Thantawi, dll.
Kelompok Salafi Beringas juga menulis
buku yang menyerang dan membeberkan kejelekan-kejelekan mereka, melemparkan
tuduhan terhadap pemikiran dan tingkah-laku ulama-ulama yang diluar kalangan
mereka.
Disamping itu ada juga kelompok
salafiyin pengikut Syeikh Abdul Azis bin Baz dan Syeikh Muhammad bin Salih
Al-Utsaimin.
Sudah menjadi opini umum bahwa salafi
kotemporer yang sekarang ini sedikit banyak mewarisi ciri “Aliran
salaf” periode sebelumya, yaitu :
1.
Hanbalis-Literalis dalam fiqih.
2. Keras dalam
masalah akidah dan tauhid
3. Agresif –
tidak toleran.
Disamping itu, pada Salafi
kotemporer muncul fenomena ciri baru, yang belum muncul pada periode
sebelumnya, yaitu :
Memperluas (extend) konsep bid’ah
sampai pada masalah furu’iyah-khilafiah.
Memperluas sikap keras-tidak toleran
pada masalah furu’iyah-khilafiah.
Meng-generalisir seluruh tasawuf adalah
sesat. (Bandingkan dengan Ibnu Taimiyah yang hanya mengkritik konsep ittihad dan
hulul dalam tasawuf).
XV. Akidah Salafiah-Ahlus Sunnah
wal Jama’ah
1. Masalah
ketuhanan :
a. Tidak ada
Tuhan selain Allah.
b. Allah itu
Esa tidak ada sekutu bagiNya.
c. Allah itu
“laisa kamislihi syaiun” tidak ada sesuatupun yang menyerupaiNya.
d. Mengimani
sifat-sifat Khabariah (yang dikhabarkan Allah tentang diriNya), yaitu :
1. Wujud (Ada).
2. Qidam (Maha
Dahulu).
3. Baqa (Kekal
Abadi)
4. Mukholafatul
lil Hawaditsi (berbeda dengan semua makhluk yang baru).
5. Qiyamuhu bi
Nafsihi (berdiri sendiri).
6. Wahdaniyah
(Maha Esa)
7. Qudrat (Maha
Kuasa).
8. Iradat (Maha
Berkehendak).
9. Ilmu (Maha
Mengetahui)
10.
Hayat (Maha Hidup)
11.
Sama’ (Maha Mendengar)
12.
Bashar (Maha Melihat)
13.
Kalam (Maha Berfirman)
14.
Qodiron (Maha Berkuasa)
15.
Muridan
16.
Aliman
17.
Hayyan
18.
Sami’an
19.
Bashiran
20.
Mutakalliman
Disamping mengimani sifat-sifat Allah
juga mengimani 99 Asmaul Husna (nama-nama baik yang juga menunjukkan sifat)
bagi Allah, yaitu : Ar Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al Qudus, As Salam, Al
Mukmin, Al Muhaimin, Al Azis, Al Jabbar, Al Mutakabir, Al Khaliq, Al Bari’, Al
Musawwir, Al Ghofar, Al Qohar, Al Wahab, Al Fatah, Ar Rozaq, dst ada 99.
2. Akidah
Tauhid :
a. Tauhid Rububiyah,
meyakini bahwa Allah satu-satunya Rabb, pencipta seluruh alam semesta.
b. Tauhid Uluhiyah,
meyakini bahwa Allah satu-satunya Ilah, sesembahan yang boleh diibadahi.
c. Tauhid Mulkiyah,
meyakini bahwa Allah satu-satunya Mulk, penguasa, pengatur seluruh alam
semesta, pemberi rejeki seluruh makhluk-Nya.
3. Al-Qur’an
a. Al-Qur’an merupakan
Kalamullah (firman Allah) bukan makhluk.
b. Meyakini semua ayat
Al-Qur’an benar dari sisi Allah, tidak ada kesalahan, kebatilan dan
pertentangan dalam semua ayat-ayatnya.
c. Mengimani kitab suci
sebelum Al-Qur’an pernah berlaku pada masanya masing-masing seperti : Injil
nabi Isa, Zabur nabi Daud, Taurat nabi Musa, Suhuf-suhuf (lembaran suci) nabi
Ibrahim.
4. Rasul
a. Mengimani 25
Nabi dan Rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Diluar 25 Nabi dan Rasul yang
disebutkan dalam Al-Qur’an ada Nabi dan Rasul yang tidak disebutkan dalam
Al-Qur’an.
b. Mengimani
bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul terakhir yang membawa syariat agama Islam yang
telah sempurna untuk seluruh umat manusia dimuka bumi dan untuk golongan jin.
c. Mengimani
tidak ada Nabi dan Rasul baru yang menerima wahyu dan membawa syariat baru
sesudah Nabi Muhammad SAW.
d. Mengimani
bahwa Nabi Muhammad SAW makshum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).
4. Malaikat
a. Mengimani
adanya para Malaikat yang selalu taat dan patuh kepada Allah :
1. Malaikat
Jibril, pemimpin para Malaikat yang menyampaikan wahyu kepada Nabi.
2. Malaikat
Mikail, pembagi rezeki, pengatur hujan, berhembusnya angin.
3. Malaikat
Isrofil, peniup sangkakala saat hari kiamat.
4. Malaikat
Izrail, pencabut nyawa.
5. Malaikat
Munkar, penanya dalam alam kubur.
6. Malaikat
Nakir, penanya dalam alam kubur.
7. Malaikat
Rokib, pencatat amal baik.
8. Malaikat
Atid, pencatatat amal buruk.
9. Malaikat
Ridwan, pemimpin penjaga surga.
10.
Malaikat Malik, pemimpin penjaga neraka.
11.
Malaikat Hafadah, mengiringi setiap manusia.
12.
Malaikat Zabaniah, petugas menjaga neraka.
13.
Malaikat Muqorrobin, pemikul Arsy
b. Mengimani
bahwa para malaikat selalu taat, patuh, beribadah, berdzikir dan memuji Allah.
5. Mengimani
adanya Iblis, syaiton dan Jin.
6. Akhirat
a. Mengimani
adanya alam kubur.
b. Mengimani
adanya Masyar.
c. Mengimani
adanya Mizan (timbangan).
d. Mengimani
adanya hisab (perhitungan amal).
e. Mengimani
adanya Shirat (jembatan).
f.
Mengimani adanya telaga Kautsar.
g. Mengimani
adanya syafa’at Nabi Muhammad dan orang-orang yang diijinkan oleh Allah untuk
memberi syafa’at.
h. Mengimani
adanya surga dan neraka.
7. Iman
a. Iman itu
keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan.
b. Iman dapat
bertambah karena ilmu dan amal saleh, iman juga dapat berkurang karena
kelalaian dan dosa-kemaksiatan.
8. Dosa besar
a. Pelaku
dosa besar menjadi fasik.
b. Pelaku dosa
besar yang akidahnya masih sempurna, tidak keluar dari Islam.
c. Dosa besar
selain Syirik masih bisa diampuni oleh Allah bila mau taubat dengan
sungguh-sungguh.
d. Pelaku dosa
besar kelak akan masuk neraka sampai waktu tertentu sebagai hukuman atas
dosa-dosanya kemudian akan dimasukkan kedalam surga.
9. Takdir dan
keadilan Allah
a. Mengimani
adanya takdir Allah pada induk kitab Lauhful Mahfudz.
b. Manusia
diberi kebebasan ber ikhtiar.
c. Allah
bersifat adil dalam memberi pahala-surga bagi mukmin yang taat dan memberi
dosa-neraka bagi yang durhaka.
10.
Khilafah dan imamah
a. Wajib adanya
khilafah (pemerintahan)
b. Tidak boleh
memberontak selama Khalifah masih mendirikan shalat.
c. Prinsip
pemerintahan : Quraisy (memiliki keutamaan seperti orang Quraisy), baiat, syuro
(musyawarah) dan keadilan.
d. Rasulullah
tidak mewasiatkan seseorang tertentu (Ali dan keturunannya) sebagai
satu-satunya yang berhak atas kekhalifahan.
11.
Filsafat
a. Dalam urusan
akidah tidak boleh mengutamakan dominasi rasio (apalagi liberal seenaknya)
dalam menafsirkan nash.
b. Dalam urusan
dunia (kedokteran, matematika, kimia, astronomi, dsb), hadits Nabi : “kamu
lebih tahu urusan duniamu”.
12.
Sahabat Nabi
a. Semua
sahabat Nabi adalah adil, artinya diterima kesaksian dan periwayatan haditsnya.
b. Generasi
Islam terbaik adalah generasi sahabat Nabi, generasi Tabi’in dan generasi
Tabi’it Tabi’in.
c. Tidak boleh
mencaci, mencelah dan mengatakan tentang keburukan para sahabat Nabi.
d. Sahabat Nabi
yang terlibat pertikaian pada perang Jamal dan Shiffin, walaupun ada yang
bersalah, namun mereka telah taubat dan jasa mereka terhadap Islam masih lebih
besar dari kesalahannya.
e. Sahabat Nabi
yang utama adalah :
1. Khulafaur
Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali).
2. Sepuluh
sahabat yang dijamin masuk surga.
3. Orang-orang
Muhajirin dan Anshar yang paling dahulu masuk Islam.
4. Para peserta
perang Badar.
5. Para peserta
Baiat dibawah pohon (Baitur Ridwan).
6. Para veteran
perang-perang lain dimasa Nabi.
13.
Nash-nash Tasybih dan Tajsim.
a. Tasybih,
yaitu nash yang mengabarkan penyerupaan Allah dengan makhluk, seperti :
1. “Tuhan yang
Rahman bersemayam diatas Arsy.” (Q Thaha : 5)
2. “Dan
datanglah Tuhanmu, sedang para Malaikat berbaris-baris” (QS Al Fajr : 22).
3. “Dan Dia
(Allah) bersama kamu dimana saja kamu berada.” (QS AL-Hadid : 4)
4. “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS Qaaf
: 16)
5. “Bukanlah
engkau yang melempar ketika engkau melempar (musuh) tetapi Allah lah yang
melempar (mereka)” (QS Al-Hadid : 22).
6. Hadits
Riwayat Bukhari :
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda
: “Tuhan kita, tiap-tiap malam turun kelangit dunia pada ketika tinggal
sepertiga malam yang terakhir, lalu Dia berkata : ‘Siapakah yang akan berdo’a
maka Aku kabulkan, siapakah yang meminta maka akan Aku beri, siapakah yang
mohon ampunan, maka Aku ampuni.”
b. Tajsim,
yaitu nash yang mengkhabarkan “anggota tubuh Allah”
1.
“Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah, tangan Allah diatas tangan mereka.”
(QS Al-Fath : 10)
2. “Hai Iblis,
apa yang menghalangimu untuk sujud kepada apa yang telah Aku ciptakan dengan
kedua tangan-Ku” (QS Ash Shaf : 7).
3. “Dan Langit
kami bangun dengan tangan Kami.” (QS Az Zariat : 47)
4. “Padahal
bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan
tangan kanan-Nya.” (QS Az Zumar : 67).
5. Hadits
Riwayat Muslim :
“Bahwasanya hati anak Adam
seluruhnya terletak diantara dua anak jari Tuhan yang Rahman.”
6. “Dan buatlah
perahu dengan mata Kami dan wahyu kami.” (QS Hud : 37).
7. “Aduhai,
sesalanku atas kelalaianku dalam mengurus sisi rusuk Tuhanku.” (QS Az Zumar :
56)
8. “Segala yang
didunia akan lenyap binasa, dan yang akan kekal hanyalah wajah Tuhanmu.” (QS Ar
Rahman : 26)
9. “Kemana saja
kamu menghadap disitulah wajah Allah.” (Al Baqarah : 115)
10.
“Allah cahaya langit dan bumi” (QS An Nur : 35).
11.
Hadits riwayat Muslim:
“Tuhan menjadikan Adam atas rupa
(citra) Nya.”
12.
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim :
“Kepada neraka jahanam selalu
dilemparkan sesuatu, dan ia selalu bertanya : ‘Adakah tambahannya ?’ sampai
tuhan meletakkan tumit-Nya dalam neraka jahanam itu, sehingga berhimpit isi
neraka itu yang satu dengan yang lainnya, lalu jahanam berkata : ‘Cukuplah,
cukup’.”
Terhadap nash-nash Al-Qur’an dan Hadits
yang mengkhabarkan tasybih, tajsim, sifat-sifat Allah, maka yang demikian
itu termasuk ayat-ayat mutasyabih maka kita wajib mengimani semua ayat-ayat
mutasyabih tersebut berasal dari sisi Allah. Tidak ada yang tahu ta’wilnya
kecuali Allah, dan kita tidak diwajibkan mengetahui ta’wilnya, maka tidak perlu
menanyakan, atau membahasnya secara mendetail berdasarkan akal pikiran.
“Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia”. (QS Asy Syura : 11).
“Dialah yang telah menurunkan Al-Qur’an
kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat muhkam yang merupakan induk (agama) dan
lainnya mutasyabih. Adapun orang-orang yang dalam harinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan
fitnah dan mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya
kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. (QS Ali Imran :
7).
Reference :
1. Al Milal Wa An
Nihal, author : Imam Syarastani, publisher :Mizan
2. Tarikh
Khulafa’, author : Jallaludin As Suyuthi, publisher : Pustaka Al Kautsar.
3. Pengantar
Ilmu Kalam, author : Drs. H. Sahilun A. Nasir, publisher : Rajawali Press.
4. Pemikiran
Kalam dalam Islam, author Drs. H. M. Laily Mansyur, LPH. Publisher : Pustaka
Firdaus in associated with LSIK Jakarta.
5. 40 Masalah
Agama Islam, author : KH. Siradjudin Abbas, bab V. Masalah Salaf dan Khalaf.
6. 51 Ijma’
Serat-Serat Akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Tahqiq kitab Risalah Ahli Ats
Tsaghri, karya Imam Abu Hasan Al Asy’ari), Author : Hammad bin Muhammad Al
Anshari, publisher : Pustaka Azzam.
7. Filsafat dan
Mistisme dalam Islam, author : Harun Nasution, publisher : Bulan Bintang.
8. Kebangkitan
Gerakan Islam, autor : Dr. Yusuf Qaradhawy, publisher : Pustaka Al Kautsar.